JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 58 warga yang sehari-hari beraktivitas di Jakarta bakal mengajukan gugatan melawan pemerintah atas buruknya udara Jakarta.
Advokat LBH Jakarta Ayu Eza Tiara mengatakan, pihaknya mantap mengajukan gugatan setelah tak mendapat respons baik dari Pemprov DKI dan lembaga lainnya.
"Pada bulan Desember kami sudah melakukan notifikasi, orang yang digugat punya 60 hari untuk melakukan perbaikan. Namun, nyatanya dari Desember sampai kini tidak pernah memberikan respons baik," ujar Ayu dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/6/2019).
Baca juga: Perbaiki Kualitas PNS, Menteri Susi Ingin Rekrut Lulusan Cum Laude
Ayu mengatakan, Pemprov DKI tak pernah melaporkan upaya memperbaiki udara Jakarta.
Ia juga menyayangkan sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang malah menyatakan mengapresiasi gugatan.
"Kami tidak butuh apresiasi, yang kami perjuangkan hak asasi manusia," kata Ayu.
Menurut dia, kualitas udara Ibu Kota Jakarta kian memburuk. Hal ini terlihat dari pemantauan selama libur Lebaran.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, kualitas udara Jakarta masih terpantau berbahaya selama Lebaran.
Berkurangnya kendaraan karena aktivitas mudik dan libur perkantoran selama sepekan tidak memberikan dampak signifikan pada perbaikan kualitas udara Jakarta.
Pada H-1 sebelum Lebaran atau 4 Juni 2019, partikel polusi yang sangat berbahaya yakni PM 2,5, tingkat hariannya mencapai 70,8 ug/m3.
Angka itu berada di atas baku mutu udara nasional sebesar 65 ug/m3.
“Ini menunjukkan bahwa polusi udara Jakarta sangat parah dan sumbernya tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor saja, tapi dari berbagai sumber pencemar yang ada di sekeliling Jakarta," ujar Bondan.
Sumber pencemaran yang dimaksud di antaranya 8 buah PLTU (22 unit) ditambah dengan rencana penambahan 4 buah PLTU Batubara baru (7 unit) yang berada dalam radius 100 kilometer dari Jakarta.
Dampak kesehatan atas pencemaran udara, khususnya PM 2.5 mengakibatkan sejumlah penyakit pernapasan serius, mulai dari infeksi saluran pernafasan (ISPA), jantung, paru-paru, resiko kematian dini, hingga kanker paru.
"Pemerintah baik pusat maupun daerah secara pelan-pelan sedang membunuh warganya sendiri apabila tidak juga serius dalam menangani masalah pencemaran udara dan mengambil langkah yang nyata untuk menutup sumber pencemar udara," kata Bondan.