Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Dua Lahan Gusuran di Bekasi yang Sampai Sekarang Tak Dibuat Apa-apa...

Kompas.com - 21/08/2019, 07:57 WIB
Vitorio Mantalean,
Jessi Carina

Tim Redaksi

 

BEKASI, KOMPAS.com – Hari ini, Kota Bekasi sudah menggusur dua permukiman warga. Satu berada di Jalan Bougenville Raya, Jakasampurna dan satu lagi di Jalan Irigasi Kampung Poncol Bulak, Jakasetia.

Pemerintah Kota Bekasi menggusur rumah-rumah warga di Jakasampurna pada 25 Juli 2019 lalu. Sementara itu, rumah-rumah warga di Jakasetia sudah rata dengan tanah sejak Oktober-November 2016 silam.

Namun nyatanya, dalih pembebasan lahan di balik agenda penggusuran di dua titik tadi tidak jelas kelanjutannya. Di saat yang bersamaan, warga sudah kehilangan tempat tinggal dan mesti memutar otak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu.

Dalam dua kasus itu, Pemerintah Kota Bekasi sama-sama dianggap sepihak dan represif dalam melakukan penggusuran.

Penggusuran rumah warga di Jalan Bougenville Raya diwarnai bentrok warga dan aparat. Komnas HAM pun menyayangkan tindakan represif Pemerintah Kota Bekasi yang tak mengindahkan seruan untuk musyawarah mufakat.

Sementara di Jakasetia, Pemerintah Kota Bekasi dinilai tak punya dasar hukum menggusur warga yang sudah tinggal sejak 1982.

Pasalnya, hingga kini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi yang bertugas menginventarisasi kepemilikan tanah, tak bisa memastikan tanah gusuran tersebut milik siapa karena statusnya kosong.

Jika kosong, besar kemungkinan tanah tersebut ialah tanah negara bebas. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, warga yang menempati tanah negara bebas selama lebih dari 20 tahun berhak atas prioritas kepemilikan tanah itu.

Kompas.com pun menelusuri dua lokasi penggusuran itu pada Selasa (20/8/2019).

Baca juga: Markas Ormas di Jakasampurna Bekasi Masih Kebal Gusuran Pemkot

Gusuran di Jakasampurna

Pemandangan kontras tampak di Jalan Bougenville Raya, Jakasampurna. Tiga bangunan masih berdiri tegak di ujung jalan, sedangkan puluhan rumah yang awalnya berdiri di samping tiga bangunan itu tinggal puing-puing.

Dalih pembebasan lahan guna normalisasi kali di dekat lahan gusuran pun seperti isapan jempol. Hampir satu bulan sejak penggusuran, puing-puing itu tak dibereskan sama sekali.

"Enggak ada yang ngerjain (normalisasi kali). Begini-begini saja," ujar seorang korban gusuran yang ogah menyebut namanya.

Hari itu, tiga rumah yang dua di antaranya berspanduk ormas, tampak beraktivitas seperti biasa. Bangunan paling ujung yang dindingnya dicat dominan biru, sekaligus bangunan paling luas, tampak terparkir beberapa mobil berlogo ormas loreng jingga. Salah satu mobil berlogo ormas itu berpelat merah.

Seorang korban gusuran, Ricky Pakpahan, curiga bahwa Pemerintah Kota Bekasi tak akan menggusur tiga bangunan itu, setidaknya dalam waktu dekat.

Pemandangan kontras di Jalan Bougenville Raya, Jakasampurna, Bekasi. Rumah berspanduk ormas masih berdiri kokoh meskipun masuk daftar gusuran seperti lahan di sampingnya pada 25 Juli 2019 lalu.KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN Pemandangan kontras di Jalan Bougenville Raya, Jakasampurna, Bekasi. Rumah berspanduk ormas masih berdiri kokoh meskipun masuk daftar gusuran seperti lahan di sampingnya pada 25 Juli 2019 lalu.

Pasalnya, tak tampak sama sekali sikap was-was dari penghuninya, seperti memindahkan isi rumah untuk mengantisipasi penggusuran yang bisa sewaktu-waktu terjadi.

"Semua orang menanyakan sih, kok itu enggak digusur-gusur?" kata Ricky kepada Kompas.com, Selasa.

Menurutnya, ada rasa keadilan yang dicederai dari keadaan ini. Korban gusuran sampai berpikir untuk membangun ulang tempat tinggal mereka di lahan tersebut secara semipermanen.

Langkah itu sebagai bentuk perlawanan sekaligus protes terhadap sikap pemerintah yang dianggap pilih kasih.

"Mereka (korban) menuntut keadilan, bahwa di daftarnya ada rumah itu, tapi yang jadi pertanyaan kok itu enggak digusur-gusur?" kata Ricky.

"Patokan kita bukan mau punya tanah di situ. Tapi, kenapa kok itu enggak digusur? Kalau memang adil kenapa enggak digusur sekalian?" tambah dia.

Baca juga: Menengok Lahan Gusuran di Jakasetia Bekasi yang 3 Tahun Dibiarkan

Kompas.com coba menghubungi Azhari, Kepala Bidang Pengendalian Ruang Dinas Tata Ruang Kota Bekasi. Namun yang dihubungi tak kunjung menjawab panggilan telepon sejak Selasa siang sampai jelang malam.

Gusuran di Jakasetia

Penggusuran di Jakasetia berlangsung pada 25 Oktober dan 1 November 2016. Penggusuran terus berlanjut ke sisi selatan, tepatnya sisi tembok kompleks perumahan Peninsula.

Lahan tersebut tak banyak berubah sejak penggusuran. Beberapa hal yang berbeda hanyalah tumbuhnya semak-semak dan pepohonan liar serta munculnya balai semipermanen yang pernah berfungsi sebagai posko pengungsian.

Dua-tiga bidang mural berisi narasi perjuangan korban gusuran menghiasi lahan derita itu.

Sisanya, tanah gusuran itu tak beralih rupa. Reruntuhan bekas rumah warga juga masih tampak jelas.

Istimewanya, belasan korban gusuran masih bertahan di posko tersebut, beberapa di antaranya bahkan lansia.

Kepala Bidang Perencanaan Ruang Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Dewi Astianti mengatakan, lahan gusuran yang sudah terbengkalai nyaris tiga tahun itu rencananya akan dibangun jalan raya.

"Itu akan dibuat jalan ke kompleks, tapi enggak cuma jalan kompleks saja, warga juga bisa lewat situ nantinya, kan macet," ujar Dewi saat dihubungi Kompas.com, Selasa.

Khairin Sangaji, pemuda yang setiap hari mendampingi korban gusuran di balai semipermanen menyebut bahwa kesadaran mereka mulai bangkit belakangan ini untuk terus memperjuangkan haknya.

Mereka telah berserikat dalam Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB).

Baca juga: Status Tanah Tak Jelas, Korban Gusuran di Bekasi Tuntut Status Quo

"Secara historis mereka tinggal dari 1982, punya kartu keluarga, KTP, dan bayar administrasi," kata Khairin kepada Kompas.com, Selasa.

"Dalam UUPA (Undang-undang Pokok Agraria), Nomor 5 Tahun 1960, orang yang sudah menggarap tanah 20 tahun harus diprioritaskan haknya atas tanah itu. Sampai sekarang mereka tidak pernah diberikan hak prioritasnya atas tanah itu. Pemerintah juga tidak pernah menunjukkan bahwa itu tanah mereka," dia menjelaskan.

Khairin dan kawan-kawan pendamping mendesak status quo kepada BPN Kota Bekasi agar lahan tersebut tak bisa diutak-atik siapa pun selama BPN berkilah masih mencari sertifikat tanah dan selama korban gusuran masih bertahan, melawan penggusuran sepihak.

Perlawanan ini pun diterjemahkan dalam rupa balai semipermanen yang ibarat jadi basecamp.

Balai ini jadi lokasi para korban gusuran dan pendamping merajut tali silaturahim serta memelihara asa perjuangan.

Perjuangan sudah terlalu jauh, ucap Khairin, apalagi mengingat 7 orang korban gusuran yang sudah meninggal dunia akibat tinggal di balai beratap terpal yang disulap jadi posko pengungsian.

"Ini tanah tidak jelas untuk apa peruntukannya sejak digusur. Tadinya kosong, lalu kami bangun tenda, lama-lama memanjang juga," kata Khairin, coba menyampaikan pesan bahwa korban masih dan akan terus bertahan di tempat ini hingga hak-haknya dipulihkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mertua Korban Penganiayaan Menantu di Jakbar Gugat Kapolri-Kapolda ke Pengadilan

Mertua Korban Penganiayaan Menantu di Jakbar Gugat Kapolri-Kapolda ke Pengadilan

Megapolitan
Parpol Lain Dinilai Sulit Dukung Anies-Sohibul, PKS Bisa Ditinggal Calon Mitra Koalisi

Parpol Lain Dinilai Sulit Dukung Anies-Sohibul, PKS Bisa Ditinggal Calon Mitra Koalisi

Megapolitan
Selebgram Bogor yang Ditangkap Polisi karena Promosikan Judi Online Berstatus Mahasiswa

Selebgram Bogor yang Ditangkap Polisi karena Promosikan Judi Online Berstatus Mahasiswa

Megapolitan
Persiapan Pilkada Jakarta 2024, Bawaslu DKI: Ada Beberapa Apartemen Menolak Coklit

Persiapan Pilkada Jakarta 2024, Bawaslu DKI: Ada Beberapa Apartemen Menolak Coklit

Megapolitan
Petugas Parkir di Stasiun Gambir Mengaku Sering Lihat Bus Wisata Diadang Preman

Petugas Parkir di Stasiun Gambir Mengaku Sering Lihat Bus Wisata Diadang Preman

Megapolitan
PKS Batal Usung Sohibul Iman Jadi Cagub pada Pilkada Jakarta, Pengamat: Dia Sulit Bersaing dengan Nama Besar

PKS Batal Usung Sohibul Iman Jadi Cagub pada Pilkada Jakarta, Pengamat: Dia Sulit Bersaing dengan Nama Besar

Megapolitan
Berangkat dari Roxy Jakpus, Pengemudi Ojol Ngamuk di Depok Gara-gara Sulit Temukan Alamat

Berangkat dari Roxy Jakpus, Pengemudi Ojol Ngamuk di Depok Gara-gara Sulit Temukan Alamat

Megapolitan
Selebgram di Bogor Digaji Rp 5,5 Juta Per Bulan untuk Promosikan Situs Judi Online

Selebgram di Bogor Digaji Rp 5,5 Juta Per Bulan untuk Promosikan Situs Judi Online

Megapolitan
Kecewanya Helmi, Anaknya Gagal Lolos PPDB SMP Negeri karena Umur Melebihi Batas

Kecewanya Helmi, Anaknya Gagal Lolos PPDB SMP Negeri karena Umur Melebihi Batas

Megapolitan
Menteri Sosial Serahkan Bansos untuk Warga Kepulauan Tanimbar Maluku

Menteri Sosial Serahkan Bansos untuk Warga Kepulauan Tanimbar Maluku

Megapolitan
Cerita 'Single Mom' Sulit Daftarkan Anak PPDB Online

Cerita "Single Mom" Sulit Daftarkan Anak PPDB Online

Megapolitan
Sohibul Batal Dicalonkan Gubernur tapi Jadi Cawagub, PKS Dinilai Pertimbangkan Elektabilitas

Sohibul Batal Dicalonkan Gubernur tapi Jadi Cawagub, PKS Dinilai Pertimbangkan Elektabilitas

Megapolitan
Polresta Bogor Tangkap Selebgram yang Promosikan Judi 'Online'

Polresta Bogor Tangkap Selebgram yang Promosikan Judi "Online"

Megapolitan
Warga Terpukau Kemeriahan Puncak HUT Ke-497 Jakarta

Warga Terpukau Kemeriahan Puncak HUT Ke-497 Jakarta

Megapolitan
Setelah PKS-PKB, Anies Optimistis Ada Partai Lain yang Bakal Usung Dirinya di Pilkada Jakarta

Setelah PKS-PKB, Anies Optimistis Ada Partai Lain yang Bakal Usung Dirinya di Pilkada Jakarta

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com