JAKARTA, KOMPAS.com - Menjadi anggota termuda DPRD DKI menjadi tantangan tersendiri bagi William Aditya Sarana.
Saat melakukan kampanye, William yang berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini kerap kali diremehkan karena usianya yang baru menginjak 23 tahun.
Ia dianggap tak akan bisa berbuat banyak karena pengalaman yang juga dianggap belum cukup.
"Tantangannya yang pertama saya paling muda jadi diremehin. Anak muda bisa apa? Anak kemarin sore. Itu yang saya pernah bilang kalau anak muda itu kurang pengalaman akan tetapi kita tuh bisa tambal dengan ilmu keberanian dan idealisme," ucap William saat berbincang dengan Kompas.com di Kantor DPW PSI, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Selain karena muda, William juga sering dipandang sebelah mata karena label triple minority.
Label ini bukan baru diterimanya saat menjadi caleg. Bahkan saat masih di bangku perkuliahan, dia dikenal sebagai double minority.
"Di kampus saya double minority. Politik kampus saya kristen saya chinese. Pada saat masuk praktis saya triple minority saya chinese, muda, dan kristen," kata dia.
Dengan label triple minority, dia sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan saat melakukan kampanye ke salah satu basis.
Saat berkampanye William tak ditanggapi bahkan warga di basis tersebut enggan bersalaman dengannya.
Baca juga: Wiliam Aditya, Anggota Termuda DPRD DKI yang Berusia 23 Tahun dan Baru Mau Diwisuda
"Tapi pada saat blusukan saya menghindari basis-basis 02. Karena saya pernah ke basis mereka enggak kondusif. Dia diam bahkan seinget saya salaman saja enggak mau. Jadi saya pake strategi kita ke basis-basis 01 atau pemilih Ahok," jelasnya.
Menurutnya, lika liku terbesar saat turun berkampanye adalah ketika Ketua Umum PSI Grace Natalie menolak perda-perda berbasis agama seperti peraturan daerah syariah dan injil.
Warga menilai bahwa PSI antiagama. Padahal menurutnya PSI hanya tak ingin melakukan tindakan diskriminatif berdasarkan agama.
"Jadi kita jelaskan lagi PSI itu bukan antiagama tapi PSI tidak ingin perda-perda itu didasarkan pada agama-agama mayoritas di daerah tersebut sehingga tidak terjadi diskriminasi," ujar anak kedua dari 3 bersaudara ini.
Jalan untuk menjadi caleg bagi William tak selalu mulus. Ia bahkan sempat mendapat penolakan dari keluarga dengan keputusannya tersebut.
Penolakan dari keluarga didapatnya lantaran politik yang dianggap "kotor".
"Yang kaget dan sempat menolak sebenarnya keluarga saya. Karena dianggap terlalu muda dan politik kotor. Keluarga awalnya enggak mendukung. Mereka (mulai) menerima ketika dapat nomor urut, karena kita rangkaiannya kan panjang sampai dapat nomor urut. Kalau pas seleksi kan kurang setuju," kisahnya.
Sang ayah yang seorang advokat ingin agar William mengikuti jejaknya. Apalagi William sendiri juga memiliki latar belakang pendidikan hukum.
Seperti diketahui Ia adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
"Ayah saya advokat jadi mungkin ekspektasi ke saya juga jadi advokat. Tapi menurut saya politik lebih penting sih dalam kondisi bangsa seperti ini karena kita kekurangan politisi baik," tutur William.
Baca juga: Anggota Terpilih DPRD DKI dari PSI Tolak Pin Emas, Usul Pakai Bahan Kuningan
William lolos menjadi anggota DPRD DKI dengan daerah pemilihan Jakarta Barat. Maka tujuan utamanya adalah memperjuangkan air bersih bagi warga Jakbar.
Kenapa air bersih? Menurutnya permasalahan ini paling substansial dan kebutuhan dasar bagi warga
"Karena isu di Jakbar yang paling ini air bersih saya juga sudah ngomong dengan orang PDAM. Intinya masalahnya jadi duit karena anggarannya kurang untuk membuat pipa yang meng-cover secara merata," ucapnya.
"Saya pas kampanye juga buka konsultasi hukum. Paling vital air ya karena kebutuhan yang sangat mendasar," lanjut William.
Isu lainnya yang cukup disorot olehnya adalah masalah polusi udara di Jakarta. Meski Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kini sudah menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) nomor 66 tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara, dia menilai itu cukup terlambat.
Seharusnya ingub itu sudah diberlakukan sebelum udara Jakarta benar-benar buruk.
"Itu yang sering saya bilang di medsos semua warga sudah mau mati karena polusi baru dia keluarin ingub. Itu kerja kayak ada kebakaran hutan nih sudah besar baru dipadamin harusnya jangan tunggu Jakarta tuh sampai nomor 1 tingkat polusi," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.