Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pemotong Kapal Tua di Utara Jakarta, Pertaruhkan Keselamatan demi Rupiah

Kompas.com - 17/10/2019, 07:09 WIB
Jimmy Ramadhan Azhari,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wajah mereka hitam terpapar debu dan oli kapal-kapal tua. Begitu pula dengan tangan mereka meski saat bekerja tertutup sarung tangan.

Teriknya matahari di pesisir timur laut Jakarta membakar kulit para pemotong kapal-kapal tua yang sudah tidak difungsikan lagi oleh tuannya. Kulit-kulit mereka coklat dan kasar karena terpapar panas dari matahari dan percikan api dari alat las potong.

Untuk mengurangi rasa panas, rata-rata mereka menggunakan baju kaus yang kerahnya disangkutkan ke topi dan dagu untuk menutupi tengkuk.

Pemandangan seperti ini terlihat ketika Kompas.com menginjakkan kaki di gang belah kapal, Cilincing, Jakarta Utara, pada Rabu (16/10/2019) siang.

Baca juga: Gang Belah Kapal, Tempat Kapal Ribuan Ton Dibelah dan Dipotong-potong

Berdasarkan pantauan di lokasi, para pekerja itu tampak sibuk membelah-belah pelat besi kapal menggunakan alat yang biasa mereka sebut "blender".

Di tengah aktivitas tersebut, pelat-pelat besi seberat belasan hingga puluhan kilogram melayang-layang beberapa puluh meter di atas kepala yang diangkat oleh beberapa crane di sana.

Ahmad Jaelani (33), salah seorang pemotong kapal, mengatakan, saat melakukan pekerjaan mereka, risiko tertimpa besi berbagai ukuran selalu ada, dari batangan besi berukuran kecil hingga pelat berukuran raksasa.

"Kalau yang tertimpa sampai tewas sih alhamdulillah enggak pernah lihat ya, tapi kalau besi-besi kecil begitu ada aja," kata Jaelani kepada Kompas.com, Rabu (16/10/2019).

Potret Pekerja pemotong kapal dengan mesin las,Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (16/10/2019)KOMPAS.com/M ZAENUDDIN Potret Pekerja pemotong kapal dengan mesin las,Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (16/10/2019)

Biasanya, kata dia, jika terjadi kecelakaan-kecelakaan seperti itu, pihak perusahaan yang memperkerjakan mereka langsung tanggap memberi pertolongan.

Pertolongan cepat memang sangat dibutuhkan agar mencegah terjadinya infeksi dan tetanus saat luka bertemu dengan karat-karat kapal usang tersebut.

Selain itu, serpihan-serpihan besi dan karat yang terhirup sering kali menyesakkan napas. Terlebih ketika mereka memotong bagian tempat oli dan bensin kapal ditampung.

"Kalau sudah bagian oli itu tuh, napas jadi sesak banget, dada rasanya sempit," tutur Jaelani.

Namun, mereka punya cara tersendiri untuk menghilangkan sesak itu. 

"Biasa minum susu beruang atau soda sudah hilang itu," ucap Nardi (30), pekerja lain.

Jaelani yang duduk di depannya lalu tertawa dan mengamini apa yang dikatakan Nardi.

 

Pekerja mencari potongan kecil bagian kapal yang dibelah dengan mesin las,Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (16/10/2019)KOMPAS.com/M ZAENUDDIN Pekerja mencari potongan kecil bagian kapal yang dibelah dengan mesin las,Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (16/10/2019)

Dengan pekerjaan penuh risiko seperti itu, upah mereka juga terbilang tak seberapa. Jaelani menyebutkan setiap besi kapal yang mereka potong dihargai hanya Rp 150 per kilogram.

Agar digaji oleh perusahaan yang mempekerjakan mereka, minimal satu orang harus memotong dua ton besi kapal tua tersebut.

"Kotornya sehari dapat Rp 150.000, itu belum buat beli makan, kopi, rokok," tutur Jaelani.

Biasanya, para tukang mutilasi kapal ini bisa mendapat uang lebih apabila mendapat proyek membongkar kapal di luar Pulau Jawa.

Jaelani memaparkan, proyek-proyek luar Pulau Jawa biasanya menawarkan pekerjaan dengan upah per hari. Jumlahnya pun lebih besar dari yang biasa didapatkan di Jakarta. Upah yang mereka dapatkan sekitar Rp 250.000 per hari.

Pekerja memotong bagian kapal dengan mesin las,Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (16/10/2019)KOMPAS.com/M ZAENUDDIN Pekerja memotong bagian kapal dengan mesin las,Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (16/10/2019)

Selain itu, para pekerja juga difasilitasi ongkos pulang pergi, penginapan, hingga makan satu kali sehari.

Tawaran luar pulau itu sering diambil Jaelani ketika masih belum berkeluarga. Sekarang ia lebih memilih memutilasi kapal-kapal tua di Jakarta dengan alasan waktu pemotongan yang lebih singkat agar lebih sering berkumpul dengan keluarga kecil di Jawa Timur.

Bagi Jaelani, berjauhan dengan keluarga lebih berat rasanya dibanding memutilasi kapal ribuan ton tersebut. Namun, bagi dirinya, membongkar kapal merupakan sebuah perjuangan halal untuk menghidupi istri dan tiga anak asal Lampung ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut di Pilkada Depok

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut di Pilkada Depok

Megapolitan
PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi di Pilkada Depok 2024

PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi di Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com