Buktinya, Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang melarang becak senantiasa jadi acuan gubernur DKI mana pun untuk menerapkan hal yang sama. Perda tersebut selalu jadi barang yang dipersoalkan saban kali isu soal pelarangan becak menyeruak lagi.
Pengecualian terjadi waktu Indonesia diterpa resesi ekonomi tahun 1998. Gubernur Sutiyoso sempat memberi kelonggaran bagi becak beroperasi di jalan-jalan sempit, hingga keadaan ekonomi pulih kembali.
Empat hari sejak izin lisan itu meluncur dari mulut Sutiyoso, ia menarik ucapannya. Becak kembali dilarang, namun sudah 1.500 unit becak masuk ke Jakarta dalam kurun waktu itu.
Aksi unjuk rasa melibatkan para pengayuh becak pun datang bertubi-tubi. Hampir semuanya bertujuan agar Perda “vonis mati becak” bikinan Wiyogo dicabut, supaya becak bisa kembali wara-wiri di Ibu Kota.
Kompas.com mencatat, terdapat 12 aksi gugatan, termasuk dalam rupa unjuk rasa, terhadap Perda itu selama kurun 1999-2001. Termasuk di dalamnya: gugatan hukum terhadap Sutiyoso yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta pada 17 Februari 2000.
Lima bulan berselang, PN Jakarta memutuskan Sutiyoso kalah. Ia mencabut Perda 11 Tahun 1988 bikinan Wiyogo, tetapi kemudian menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2007. Isinya sama-sama melarang operasional becak.
Jadilah, Sutiyoso terus merazia becak dan menutup ruang beroperasi becak di Ibu Kota. Agustus 2001, anak buah Sutiyoso secara serentak “menggaruk” becak di lima wilayah kota Jakarta.
Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, hingga Djarot Saiful Hidayat pun idem dengan langkah Wiyogo hingga Sutiyoso: tak mengizinkan becak beroperasi di Jakarta.
Semua, lagi-lagi, berangkat dari peraturan yang diambil Wiyogo tahun 1988 dan dikukuhkan Sutiyoso lewat Perda Nomor 8 Tahun 2007.
Kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta yang saat ini dipegang Anies Baswedan berusaha mengubah vonis Wiyogo terhadap becak itu.
Anies sempat menyatakan keinginannya mengelola operasional becak di Jakarta.
Ia tak begitu sepakat dengan larangan operasional becak karena secara faktual, becak masih memegang peran penting sebagai moda transportasi di kampung-kampung Ibu Kota.
“Nanti kami atur dari pergub (Peraturan Gubernur). Jadi, mengatur yang selama ini ada. Hanya selama ini kejar-kejaran karena tidak pernah diatur, jumlahnya enggak diatur, rute mereka tidak diatur, rute dalam kampungnya itu," ucap Anies di Lapangan IRTI, Selasa (16/1/2018) silam.
Hal senada disampaikan anak buahnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputro.
"Suka tidak suka memang masih ada becak yang masih beroperasi. Sehingga Dinas Perhubungan melakukan pendataan dan pembinaan. Kami masih berusaha merevisi Perda Ketertiban Umum agar becak (listrik) bisa legal," kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputro, Jumat (18/10/2019).
Kendati demikian, wacana Anies melegalkan becak terdengar membingungkan karena di bawah kepemimpinan Anies pula, Pemprov DKI hendak melarang operasional odong-odong di permukiman dengan dalih “tidak memenuhi standar spesifikasi kendaraan bermotor dan membahayakan penumpang”.
Padahal, odong-odong tak ubahnya anglingdarma zaman Wiyogo yang lahir dari kreativitas warga, merespons minimnya angkutan umum permukiman dari pemerintah daerah. Keadaan itu pula yang jadi alasan Anies hendak melegalkan kembali operasional becak.
Menariknya, harapan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies dalam melarang odong-odong rupanya tak jauh berbeda dengan harapan Wiyogo ketika melarang operasional becak. Sopir-sopirnya diharapkan beralih pekerjaan jadi sopir angkutan lain atau dibekali keahlian lain.
“Jadi harus cari solusi, apakah dia jadi pengemudi bajaj atau pengemudi Jak Lingko, atau kursus-kursus, jadi pihak wali kota juga membantu nantinya didata sopir-sopirnya itu. Kan alasannya perut kan gitu," ujar Andreas Eman, Kepala Seksi Lalu Lintas DKI Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.