JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPRD DKI, William Aditya Sarana, mengungkap kejanggalan berupa anggaran pembelian lem Aibon sebesar Rp 82 miliar pada rancangan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta.
Tidak hanya itu, William juga mengungkap anggaran tak wajar lain, seperti bolpoin dan komputer.
Hal tersebut disampaikan William melalui akun Instagram pribadinya, @willsarana.
Aksi William itu membuat rancangan anggaran dalam KUA-PPAS menjadi sorotan publik.
Lantas, siapa sebenarnya William Aditya Sarana?
William menjadi anggota DPRD DKI termuda periode 2019-2024. Ia merupakan satu dari delapan anggota terpilih Partai Solidaritas Indonesia.
Pria kelahiran 2 Mei 1996 ini baru saja diwisuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada akhir Agustus. Sejak di bangku SMA, ia telah menggeluti dunia politik dengan menjadi anggota OSIS sebagai staf hubungan masyarakat.
Semasa kuliah, William juga sempat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Hakim Konstitusi Universitas Indonesia.
Baca juga: Inggard Semprot William Aditya Sarana di Rapat RAPBD DKI: Anda kan Baru, Jaga Tata Krama
Statusnya sebagai anak muda juga menjadi tantangan tersendiri ketika dirinya masih berkampanye. William mengaku kerap diremehkan karena masih muda.
"Tantangannya yang pertama saya paling muda jadi diremehin. Anak muda bisa apa? Anak kemarin sore. Itu yang saya pernah bilang kalau anak muda itu kurang pengalaman, tetapi kita tuh bisa tambal dengan ilmu keberanian dan idealisme," ucap William.
William mengaku sering menerima label sebagai triple minority.
"Di kampus saya double minority. Politik kampus saya Kristen, saya Chinese. Pada saat masuk praktis saya triple minority, saya Chinese, muda, dan Kristen," katanya.
Masuknya William dalam ranah politik sempat ditentang oleh kedua orangtuanya. Namun, ia tetap mengikuti panggilannya dan menjadi anggota DPRD DKI termuda.
Baca juga: Perjuangan Caleg PSI William Aditya, Masuk DPRD DKI dengan Label Triple Minority
Dengan label triple minority, dia sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan saat melakukan kampanye ke salah satu basis.
Saat berkampanye, William tak ditanggapi, bahkan warga di basis tersebut enggan bersalaman dengannya.
Pilihan William bergabung dengan PSI dilatarbelakangi oleh anggapannya bahwa ekosistem di PSI masih sehat. Ia juga berkomitmen bahwa dirinya dan PSI akan jauh dari kata korupsi.
"Menurut saya, ekosistem parpol di partai lain itu sudah rusak. Sifatnya itu nepotisme sudah ada bekingan oligarkis tertutup. Kalau kita jadi orang baik sendirian di parpol yang lama misalnya itu enggak akan mengubah apa-apa," tuturnya.
Baca juga: Dikritik karena Bongkar Anggaran, William: Kalau Upload Usai Pembahasan, Apa yang Dikritisi?
Dalam menjadi anggota legislatif, William memiliki tujuan utama untuk memperjuangkan air bersih bagi warga Jakarta Barat.
Selain itu, ia juga menekankan pada masalah polusi udara di Jakarta.
William menjadi salah satu perwakilan yang berhasil memenangi gugatan yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) atas Perda Pasal 25 ayat (1) tentang Ketertiban Umum.
Salah satu isi perda tersebut membahas wewenang gubernur untuk penetapan PKL di jalan dan trotoar.
William menganggap putusan tersebut seharusnya dijadikan momentum bagi Anies untuk menertibkan dan membuat solusi bagi PKL.
Pada akhirnya, putusan MA membatalkan Pasal 25 ayat (1) tentang Ketertiban Umum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.