Kemiskinan struktural adalah tentang sistem, baik itu negara maupun kota, yang tak menyediakan kesempatan bagi para kaum miskin kota untuk melarikan diri dari jebak kemiskinan.
Menggunakan sudut pandang yang lebih dekat, Jufri paham bahwa para pemuda yang terlibat tawuran Manggarai bukan semata-mata pelaku.
Mereka sekaligus korban dari struktur sosial yang sama sekali tak berpihak pada mereka untuk bertindak tertib maupun memperbaiki nasib mereka.
“Kemiskinan finansial memang sudah pasti membuat kehidupan lebih keras, karena kebutuhan dasar seperti makan saja sudah kurang. Tapi, yang lebih parah lagi, mereka miskin akses. Betapa banyak pun program pemerintah, akhirnya tidak bisa mencapai mereka,” jelas Jufri.
Para pemuda Manggarai tak banyak punya ruang publik yang dekat dengan tempat tinggal mereka.
Mereka sulit mendapatkan akses untuk mengaktualisasi diri sebagai remaja, seperti mengembangkan bakat olahraga, menyalurkan minat bermusik, maupun mengekspresikan keingintahuan pada teknologi, misalnya.
Keadaan di rumah pun sama tak menguntungkannya.
Tinggal di permukiman kumuh nan sesak di Manggarai, siapa pun tentu tak betah berlama-lama.
Itu belum ditambah dengan renggangnya hubungan para pemuda dengan orangtua mereka yang juga dibekap kemiskinan.
Pasalnya, orangtua mereka boleh jadi kerja serabutan seharian demi menyambung hidup dari hari ke hari.
Baca juga: Tawuran Kerap Terjadi di Manggarai, Solusi Nihil karena Penyebab Tak Diteliti Serius
Belum tentu juga nafkah mereka terpenuhi hari itu. Bibit kekerasan akhirnya muncul bermula dari rumah, lingkungan terkecil mereka.
“Para orangtua ini tidak semua pendidikannya memadai, tidak semuanya punya kultur dialog dalam keluarga. Selain itu banyak juga, karena seharian sibuk kerja tapi pendapatan yang hanya segitu-segitu juga, akhirnya timbul kekerasan dan kata-kata yang keras. Emosi, karena terdesak tak bisa memenuhi permintaan anaknya,” Jufri menjelaskan.
Rumah akhirnya menjelma tempat asing. Secara fisik maupun batin, rumah atau keluarga bukanlah tempat yang nyaman.
Tempat bernaung pun beralih ke ruang lain, sekolah.
Di sekolah, para pemuda secara tak langsung berjejaring dengan geng yang jumlahnya puluhan di Manggarai dan sekitarnya.
Geng, beserta tempat nongkrongnya, akhirnya menjelma menjadi satu-satunya naungan yang sanggup menyodorkan ruang yang nyaman bagi para pemuda mengaktualisasikan diri.
“Dalam situasi seperti itu, anak muda yang sebetulnya masih bisa dibentuk, malah terjepit dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan mereka,” kata Imam Prasodjo.
“Wadah bermain, wadah beraktivitas, wadah olahraga dan belajar yang seharusnya tersedia di lingkungan dan memungkinkan mereka untuk beraktivitas dengan baik, itu semua kosong,” imbuhnya.
Dari krisis finansial yang melekat begitu kuat membentuk kemiskinan struktural, para pemuda di Manggarai sadar tidak sadar menghadapi krisis stadium lanjut: krisis identitas.
Dalam fase menuju dewasa, mereka pun tak luput dari insting mencari jati diri dan menemukan pengakuan.
Kata kuncinya ialah “geng”.
Geng tersebut seolah menjadi jembatan yang menyambungkan antara kemiskinan, krisis identitas a la remaja, dengan bibit kekerasan yang meledak menjadi fenomena tawuran di Manggarai.