Geng menjadi bukti bahwa para pemuda butuh wadah aktualisasi diri, tanpa pernah terfasilitasi seperti para komunitas futsal, komunitas seni, dan komunitas-komunitas lain.
Interaksi mereka, diawali dari sekolah, kemudian tongkrongan, akhirnya memberi mereka ciri.
Interaksi itu mengkristal menjadi identitas, bahwa seorang pemuda merasa dirinya bagian dari sebuah kelompok, dan bukan anggota kelompok lainnya.
Kelompok itulah “geng” yang akhirnya menguasai suatu teritori-tongkrongan-sendiri.
“Geng ini kemudian diberi nama yang cukup unik. Misalnya ada ada di Manggarai itu geng ‘Tuyul’ atau ‘tukang nyulik’ dekat Stasiun Manggarai. Kemudian di Pegangsaan ada namanya ‘Romusha, Rombongan Muka Sangar’. Di Menteng ada ‘Glorados, Gelondongan Raja Dosa’,” kata Jufri.
Data penelitian Jufri dan kolega pada 2014 mencatat, setidaknya terdapat 67 geng kecil di Pasar Manggis, 11 geng di Manggarai, 21 geng di Menteng, dan 5 geng di Pegangsaan.
Geng-geng ini saling mengidentifikasi kawan dan musuh mereka. Mereka umumnya berkonsolidasi dalam teritori yang berdekatan dan siap membangun kekuatan apabila “bertempur”.
Seiring berjalannya waktu, bentrok yang terus terjadi di Manggarai antara kawan dan musuh ini mengendapkan rivalitas mereka menjadi musuh bebuyutan.
Peristiwa bentrok dan jatuhnya korban terus diceritakan, diulang-ulang, hingga membentuk sebuah memori kolektif yang mengendap di benak para anggotanya.
Melalui memori kolektif ini, dendam terus dirawat, konflik dibiarkan tumbuh subur.
Kabar buruknya, spiral kekerasan ini terus memanjang setiap tahun.
Jemari geng-geng ini sudah menggerayangi ruang-ruang kelas sekolah dalam rangka merekrut kader-kader baru.
Prosesnya persis dengan penjabaran awal: sekolah dan tongkrongan jadi tempat bernaung para pemuda karena rumah bukan tempat yang nyaman dan mereka tak punya ruang lain mengaktualisasi diri.
“Sekolah tidak melihat kemunculan geng-geng ini, misalnya geng antarkelas. Mereka muncul di luar sekolah ketika tidak jam sekolah. Dari sekolah, mereka berpindah ke lingkungan masyarakat. Di sinilah mereka bercampur, geng-geng ini membesar,” ujar Jufri.
Geng-geng ini ujungnya menjadi hilir dari aliran kemiskinan struktural di hulu persoalan yang menenggelamkan para pemuda dalam nasib yang getir.
Geng, beserta perseteruannya yang dirawat menahun, jadi faktor penting dalam melanggengkan spiral kekerasan di Manggarai dalam rupa tawuran.
“Kita bisa memulainya dari tawuran antarsekolah. Tawuran ini juga muncul karena mereka merasa didukung oleh pentolan-pentolan gengnya, sehingga merasa kuat. Soalnya, di geng mereka pasti ada juga senior-senior atau alumni sekolah mereka. Ada senior yang sudah drop-out, ada juga yang sudah lulus tetapi nganggur dan akhirnya terus nongkrong di (geng) situ,” kata Jufri.
Keadaan serba rumit ini adalah alasan, langkah-langkah rabun jauh pemerintah dalam membuat solusi justru makin mengaburkan akar masalah tawuran Manggarai dari inti masalah.
Wacana pencabutan fasilitas Pemprov DKI Jakarta terhadap para "pelaku tawuran", misalnya, malah kian menjerumuskan mereka dalam lubang kemiskinan struktural yang lebih gelap.
Alih-alih memutus mata rantai tawuran, wacana itu malah memperbesar peluang mereka merawat lingkaran kekerasan dan menyuburkan konflik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.