Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kolumbarium, Pemakaman Vertikal di Pemakaman Bitung Buaran

Kompas.com - 25/12/2019, 12:55 WIB
Tia Astuti,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada yang unik dari salah satu pemakaman yang dimiliki oleh Paroki Gereja St. Servatius, Kampung Sawah, Bekasi. Tepatnya, terletak di kawasan makam Bitung Buaran, Bekasi.

Dari pintu masuk memang terhampar ratusan makam di atas tanah, tetapi bila melihat ke ujung pemakaman ada lahan yang berisi dua rak besar yang tersusun rapih.

Ketika semakin mendekat ke “benda” yang dari jauh terlihat seperti rak rak besar, ternyata itu adalah pemakaman vertikal yang bernama kolumbarium.

Ketika dilihat dari dekat terlihat jelas kolumbarium ini terbuat dari keramik.

Siang itu ada seorang pria kelahiran 1964 yang sedang membersihkan kolumbarium dengan kain. Dia lah Markus Sulaeman, salah satu Pengurus Pelayanan Pemakaman.

Keterbatasan lahan

Kolumbarium setinggi 2 meter ini diciptakan karena memang sudah ketentuan dari Dewan Paroki Servatius sejak 2007.

Namun, Pengurus Pelayanan Pemakaman baru merealisasikannya pada 2018.

“Kita (Gereja St. Servatius) kan memang punya dua komplek pemakaman. Yang satu di Kampung Sawah yang satu lagi di sini di Komplek Bitung. Nah karena yang di Kampung Sawah berdirinya lebih lama (1930) jadi sudah penuh di sana,” ujar Markus.

Baca juga: Tangan Jahil Beraksi Tiap Malam, Coret-coret Makam di TPU Menteng Pulo 2

Lahan pemakaman milik mereka di Kampung Sawah sudah penuh sehingga tidak memungkinkan untuk untuk dipakai.

Sehingga harapan yang dimiliki umat katolik di Kampung Sawah selanjutnya adalah Pemakaman Bitung Buaran.

Setiap tahunnya Pemakaman Bitung Buaran menerima antara 40-50 jenazah baru. Karena jumlah ini yang juga membuat pemakaman semakin penuh.

“Lahan di daerah kami makin sempit. Tanah semakin langka dan harganya juga makin tinggi. Kami tidak mungkin terus-terusan beli lahan makam. Nanti yang ada kampung penuh sama pemakaman doang,” tambah Markus.

Dari pemikiran-pemikiran tadi, mereka berusaha memaksimalkan pemanfaatan lahan yang ada.

Ketika ada lahan yang masih kosong, Pengurus Pelayanan Pemakaman langsung menggunakannya untuk membangun kolumbarium.

Lebih efisien dan praktis

Lahan 100 meter yang disediakan untuk mendirikan kolumbarium di area pemakaman Bitung Buaran diperhitungkan dapat menampung ratusan kerangka.

Kenapa kerangka? Hal ini karena kolombarium di pemakaman Bitung Buaran memang dikhususkan untuk jenazah yang sudah berusia 9 tahun dikubur di dalam tanah, sehingga hanya tersisa kerangka.

Kerangka inilah yang kemudian disimpan dalam kolombarium.

 

Metode ini dinilai bisa lebih menghemat lahan dibandingkan makam pada umumnya.

Baca juga: Jakarta Terancam Krisis Lahan Makam 1,5 Tahun Lagi

Sebagai gambaran, luas tanah 1.450 meter hanya bisa menampung 270-an jenazah. Sementara kolombarium Bitung Buaran hanya memerlukan 100 meter untuk bisa kebumikan 200 kerangka.

Di kawasan makam Bitung Buara ini, terdapat dua buah kolombarium yang satu mukanya terdapat 36 kolom.

Total k yang ada di dua kolumbarium ini 78 kerangka. Sebanyak enam kerangka di antaranya adalah kerangka anak-anak sehingga bisa dimasukan satu kolom dengan kerangka orang dewasa.

“Dengan kolumbarium ini lumayan menghemat karena kan ke atas ya,” ujar Markus.

Pro dan kontra tetap ada

Inspirasi kolumbarium ini datang ketika salah satu romo mereka, Romo Hani memberi pengajaran kepada Dewan Paroki Servatius.

“Beliau (Romo Hani) sebelum pindah ke Katedral pernah bilang kalau kolumbarium ini sudah banyak diterapkan di pemakaman di luar negeri. Di Indonesia pun juga ada, salah satunya yang saya tahu ada di Depok,” ujar Markus.

Meski sudah banyak pemakaman Nasrani di luar negeri yang menerapkan ini, bagi beberapa jemaat Gereja St. Servatius tetap ada yang kontra karena ketidaktahuan mereka.

“Yang pro ada yang kontra juga ada. Yang kontra karena mereka masih berpikiran kalau manusia itu dari tanah, seharusnya kembali ke tanah lagi. Padahal kita juga tetap menguburkan jenazah yang baru ke dalam tanah dulu, baru setelah 9 tahun bisa ditaruh di kolumbarium,” ujar Markus.

Tidak mahal

Pembangunan kolumbarium diserahkan Pengurus Pelayanan Pemakaman kepada ahlinya.

Mereka membentuk panitia dulu yang terdiri dari orang-orang yang kompeten dalam bidangnya, seperti arsitek, sipil, orang keuangan, serta orang yang paham dengan lingkungan.

Meskipun proyek pembuatan kolumbarium ini melibatkan orang-orang yang ahli namun pihak Pengurus Pelayanan Pemakaman tidak membedakan harga antara biaya untuk pemakaman di atas tanah dan pemakaman di dalam kolumbarium.

Biaya untuk mengubur jenazah yang baru dan pengangkatan kerangka yang sudah 9 tahun ke dalam kolumbarium tetap sama.

“Waktu pengangkatan kerangka, pihak keluarga dikenakan Rp 1,3 juta. Sebetulnya biaya pengangkatan totalnya Rp 2,6 juta. Sisa untuk menambah uang yang dikenakan kepada pihak keluarga jenazah diambil dari kas pelayanan pemakaman,” ujar Markus.

Selain dikenakan biaya pengangkatan, pihak keluarga jenazah harus membuat surat permohonan ke pihak Pengurus Pelayanan Pemakaman di awal periode dibukanya kloter kolumbarium.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Megapolitan
Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Megapolitan
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Megapolitan
Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Megapolitan
Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Megapolitan
BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Megapolitan
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Megapolitan
Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Megapolitan
Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Megapolitan
Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Megapolitan
Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Megapolitan
Pengemudi HR-V yang Tabrak Bikun UI Patah Kaki dan Luka di Pipi

Pengemudi HR-V yang Tabrak Bikun UI Patah Kaki dan Luka di Pipi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com