Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bekasi, Kota Rawa-rawa yang Langganan Banjir sejak Zaman Kerajaan

Kompas.com - 11/01/2020, 09:50 WIB
Vitorio Mantalean,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi


BEKASI, KOMPAS.com - Banjir Tahun Baru 2020 Rabu (1/1/2020) lalu bukan hanya menenggelamkan Jakarta, melainkan hampir seluruh wilayah Jabodetabek.

Banjir di Kota Bekasi disebut yang paling parah dengan sembilan korban jiwa, ratusan ribu pengungsi, dan sekitar 70 persen wilayah terendam air keruh.

Bukan hanya paling parah se-Jabodetabek, banjir di Kota Bekasi tahun ini disebut sebagai banjir paling parah sepanjang sejarah Bekasi.

"Kita hampir merata. Dalam sejarahnya, banjir Bekasi belum pernah separah itu," kata Rahmat Effendi, Wali Kota Bekasi, pada Kamis (2/1/2020).

Sejarawan Bekasi, Ali Anwar membenarkan anggapan Rahmat.

Sejauh catatannya, belum pernah Kota Bekasi direndam banjir hingga 70 persen wilayahnya.

UPDATE: Kompas.com menggalang dana untuk membantu korban yang terkena dampak banjir. Sumbangkan rezeki Anda untuk membantu meringankan beban mereka dengan cara klik di sini untuk donasi.

Baca juga: Paling Parah Terdampak Banjir, Perumahan Pondok Gede Permai Bekasi Mulanya Rawa

Bahkan, beberapa kawasan yang tak pernah kebanjiran, ikut terendam pada Tahun Baru 2020 lalu.

"Banjir paling besar terakhir tahun 2002, berbarengan dengan Jakarta yang saat itu kena banjir parah juga. Tapi, tahun ini paling parah," ungkap Ali ketika ditemui Kompas.com di sebuah kedai kopi di bilangan Margahayu, Bekasi Timur, Jumat (10/1/2020) siang.

Banjir Bekasi era kerajaan dan kolonial

Ali Anwar menyebut, riwayat banjir besar di Bekasi sudah tercatat sejak berabad-abad silam.

Kota Bekasi yang terletak di dataran rendah memang "dirancang" secara alamiah sebagai kota rawa-rawa.

Abad 5 masehi, Raja Tarumanagara, Purnawarman bahkan membangun sodetan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati.

"Sodetan ini untuk mencegah banjir ke arah keraton dan pertanian," kata Ali.

Jejak banjir juga tampak dari moda transportasi yang digunakan masyarakat Bekasi kuno untuk beraktivitas.

Meski banjir langganan melanda, namun dampak yang ditimbulkannya tak begitu besar.

Masyarakat kuno punya cara hidup yang bersahabat dengan alam, tunduk pada ketentuan alam.

Mereka beradaptasi terhadap cara-cara alam bekerja, bukan menggagahinya dengan pembangunan yang mengabaikan dampak lingkungan.

Baca juga: Terendam Lumpur dan Listrik Mati, Rumah di Pondok Gede Permai Bekasi Ditinggalkan Penghuni

"Selama berabad-abad masyarakat Bekasi hidup dengan mengandalkan Kali Bekasi menggunakan perahu. Jalan dan rumah yang berjejer dari Bogor sampai muara Bekasi menghadap ke sungai," jelas Ali.

"Rumah dibangun di lokasi tinggi yang tak terjamah banjir. Kalau kena banjir, mereka membangun rumah panggung," imbuhnya.

Peradaban baru yang memperparah banjir

Rongsokan pascabanjir bertimbunan di depan rumah warga di RW 008 Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi.KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN Rongsokan pascabanjir bertimbunan di depan rumah warga di RW 008 Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi.

Memasuki Era Kolonial, pembangunan mulai merambah Bekasi.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, HW Daendels membabat lahan untuk membentangkan jalan raya Pantura Bekasi-Cirebon di awal 1800.

Akhir 1800, dibangun rel kereta api dari Manggarai ke Kedunggedeh.

"Moda transportasi mulai bergeser dr air ke jalan raya dan rel. Rumah mulai berpindah ke pinggir jalan. Jalan raya dan rel membuat jalan air terganggu, sehingga mulai banjir di sisi selatannya," urai Ali Anwar.

Kali Bekasi dan Sungai Citarum mulai kerap meluap. Lahan pertanian langganan dilanda banjir.

"Tahun 1920-an, Sungai Citarum ditanggul dan berhasil mengurangi banjir. Tapi, pada 1924, 1926, dan 1933, banjir menenggelamkan rumah, jalan raya (Batavia, Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, Lemahabang, Kedunggedeh). Rel bergeser sampai bentuknya mengombak, jembatan rusak, rumah tenggelam," Ali menjelaskan.

Baca juga: Masalah Imbas Banjir di Pondok Gede Permai Bekasi, Penanganan Lamban hingga Ditinggalkan Penghuni

Banjir Bekasi Pascakemerdekaan

Banjir besar di Bekasi pascakemerdekaan terjadi perdana pada tahun 1961.

"Sampai 200.000 warga Bekasi mengungsi. Jumlah itu mungkin separuh dari jumlah warga Bekasi kala itu," ujar Ali.

Banjir 1961 jadi permulaan penyakit-penyakit merebak pascabanjir.

Warga Kota Bekasi banyak terserang penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, seperti demam berdarah dan malaria.

Wilayah Rawalumbu, yang merupakan kawasan rawa, jadi lokasi epidemi malaria setelah banjir surut.

Tahun 1973-1984, Pemerintah Kabupaten Bekasi (saat itu Bekasi belum terbagi menjadi kota dan kabupaten seperti sekarang) merampungkan pembangunan kanal Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) buat mengatasi masalah banjir itu.

"Setelah kanal CBL dibangun, air langsung surut, Bekasi bebas banjir. Karena CBL menyelesaikan banjir, pemerintah pede bebas banjir," kata Ali.

"Dampak lanjutannya, rawa-rawa di Kota Bekasi seperti tidak berguna lagi karena air sungai langsung menggelontor ke CBL," lanjutnya

Merasa Bekasi tak akan banjir lagi sejak dibangunnya Kanal CBL, pemerintah pun membuka pintu lebar bagi pengusaha properti.

Pembangunan kompleks perumahan pun terjadi dengan skala besar.

Baca juga: Cerita Korban Banjir Pondok Gede Permai Bekasi, Bertahan di Atap dan Modal Usaha Ludes

Banyak wilayah rawa dan bantaran Kali Bekasi yang mulanya berperan sebagai daerah tangkapan air lenyap berganti perumahan.

Jejaknya masih dapat ditelusuri dari nama wilayah, seperti Rawapanjang, Rawalumbu, dan Rawatembaga yang kini sudah bukan rawa lagi.

"Tanah rawa di pinggir kali itu kan murah karena belum ada yang memiliki. Tanah negara," kata Ali soal alasan para pengembang properti menyasar tanah rawa-rawa.

Permukiman di tepi sungai

Dekade 1980-1990, pembangunan kian gencar di Jakarta.

Ekspansi penduduk Jakarta ke Bekasi pun semakin nyata, menimbulkan permintaan yang tinggi akan kawasan perumahan.

"Anda bisa lihat, Kemang Pratama, Kemang Ifi, Pondok Gede Permai, Vila Nusa Indah, Pondok Mitra Lestari (dulu Kemang View). Komplek elite itu semua di pinggir kali," jelas Ali, tak yakin bila perumahan-perumahan itu steril dari uang pelicin buat memuluskan izin dari pemerintah.

"Perumahan yang dibangun, apakah legal atau ilegal itu, menutup lahan yang tadinya menyerap sehingga tidak bisa lagi meyerap karena ditutup sama beton," kata dia.

Masalah kian pelik setelah pemerintah pusat membangun Jalan Tol Jagorawi yang melintasi hulu Kali Bekasi. Pembangunan ini, menurut Ali, tak diimbangi dengan pembangunan sistem gorong-gorong yang lebar.

Malah, ekses Jalan Tol Jagorawi ini menimbulkan berkembangnya perumahan dan industri, yang berarti mencaplok lagi daerah tangkapan air.

"Kali Bekasi kian dangkal, sementara air amat deras melaju dari arah Puncak dan Bogor. Bendung Bekasi yang sudah tua kurang mampu menahan besarnya debit air dari Bogor dan Purwakarta (Kalimalang). Pembangunan polder air tak mampu menampung air hujan," ujar Ali.

Baca juga: Bekasi Akan Tambah Dana Tak Terduga untuk Perbaiki Tanggul Jebol akibat Banjir

"Dampaknya banjir besar menyergap Bekasi pada 2002. Kemudian banjir dengan skala lebih kecil tahun 2005, 2007, 2012, sebelum banjir lagi tahun 2020," imbuhnya.

Banjir Tahun Baru 2020 yang merendam 70 persen wilayah Bekasi dengan catatan kedalaman maksimal 6 meter seakan membawa pesan.

Tak mau tahu perumahan atau bukan, air sungai akan selalu mendamba kembali ke rawa, bukan beton.

UPDATE: Kompas.com menggalang dana untuk membantu korban yang terkena dampak banjir. Sumbangkan rezeki Anda untuk membantu meringankan beban mereka dengan cara klik di sini untuk donasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Korban Pelecehan Payudara di Jaksel Trauma, Takut Saat Orang Asing Mendekat

Korban Pelecehan Payudara di Jaksel Trauma, Takut Saat Orang Asing Mendekat

Megapolitan
Dilecehkan Pria di Jakbar, 5 Bocah Laki-laki Tak Berani Lapor Orangtua

Dilecehkan Pria di Jakbar, 5 Bocah Laki-laki Tak Berani Lapor Orangtua

Megapolitan
Rute Transjakarta 12C Waduk Pluit-Penjaringan

Rute Transjakarta 12C Waduk Pluit-Penjaringan

Megapolitan
Rute KA Gumarang, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Gumarang, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Kronologi Perempuan di Jaksel Jadi Korban Pelecehan Payudara, Pelaku Diduga Pelajar

Kronologi Perempuan di Jaksel Jadi Korban Pelecehan Payudara, Pelaku Diduga Pelajar

Megapolitan
Masuk Rumah Korban, Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar Ngaku Salah Rumah

Masuk Rumah Korban, Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar Ngaku Salah Rumah

Megapolitan
Cegah Penyebaran Penyakit Hewan Kurban, Pemprov DKI Perketat Prosedur dan Vaksinasi

Cegah Penyebaran Penyakit Hewan Kurban, Pemprov DKI Perketat Prosedur dan Vaksinasi

Megapolitan
Viral Video Gibran, Bocah di Bogor Menangis Minta Makan, Lurah Ungkap Kondisi Sebenarnya

Viral Video Gibran, Bocah di Bogor Menangis Minta Makan, Lurah Ungkap Kondisi Sebenarnya

Megapolitan
Kriteria Sosok yang Pantas Pimpin Jakarta bagi Ahok, Mau Buktikan Sumber Harta sampai Menerima Warga di Balai Kota

Kriteria Sosok yang Pantas Pimpin Jakarta bagi Ahok, Mau Buktikan Sumber Harta sampai Menerima Warga di Balai Kota

Megapolitan
Sedang Jalan Kaki, Perempuan di Kebayoran Baru Jadi Korban Pelecehan Payudara

Sedang Jalan Kaki, Perempuan di Kebayoran Baru Jadi Korban Pelecehan Payudara

Megapolitan
Polisi Tangkap Aktor Epy Kusnandar Terkait Penyalahgunaan Narkoba

Polisi Tangkap Aktor Epy Kusnandar Terkait Penyalahgunaan Narkoba

Megapolitan
Pemprov DKI Jakarta Bakal Cek Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 1445 H

Pemprov DKI Jakarta Bakal Cek Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 1445 H

Megapolitan
Pekerja yang Jatuh dari Atap Stasiun LRT Kuningan Disebut Sedang Bersihkan Talang Air

Pekerja yang Jatuh dari Atap Stasiun LRT Kuningan Disebut Sedang Bersihkan Talang Air

Megapolitan
Setuju Jukir Ditertibakan, Pelanggan Minimarket: Kalau Enggak Dibayar Suka Marah

Setuju Jukir Ditertibakan, Pelanggan Minimarket: Kalau Enggak Dibayar Suka Marah

Megapolitan
Bercak Darah Masih Terlihat di Lokasi Terjatuhnya Pekerja dari Atap Stasiun LRT Kuningan

Bercak Darah Masih Terlihat di Lokasi Terjatuhnya Pekerja dari Atap Stasiun LRT Kuningan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com