Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/01/2020, 15:28 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

BEKASI, KOMPAS.com - Merah menyala di segala penjuru Hok Lay Kiong. Setiap beberapa menit, warna merah yang disumbang lilin-lilin raksasa terus bertambah jumlahnya di kelenteng terbesar seantero Kota Bekasi itu.

Rabu (22/1/2020), tiga hari jelang perayaan Tahun Baru Imlek 2571, Klenteng Hok Lay Kiong telah merias diri. Patung-patung dewa-dewi rutin dibersihkan.

Jejeran kue keranjang, dari ukuran kecil hingga yang piramidanya tinggi sekali, berbaris rapi di altar. Bola-bola lampion telah berpendaran di langit-langit, menaungi seisi klenteng.

Semuanya disusun sesuai tata letak menurut tradisi kepercayaan Tridharma (Konghucu, Buddhisme, dan Taoisme).

Baca juga: [BERITA FOTO] Menengok Persiapan Imlek di Hok Lay Kiong, Klenteng Terbesar di Kota Bekasi

Namun, fokus utama hari itu bukan altar, kue keranjang, atau lampion. Melainkan lilin-lilin merah raksasa yang dihamparkan di ubin yang juga merah. Panjangnya bervariasi, namun rata-rata bisa lebih dari 1,5 meter.

"Ini sifatnya donasi umat. Inti yang terpenting adalah ketulusan dan ikhlas. Itu tidak ditakar dari besar-kecilnya lilin," ucap Kepala Bidang Publikasi dan Komunikasi Yayasan Pancaran Tridharma Bekasi Drajat kepada Kompas.com.

"Secara umum, persiapan pemasangan lilin ini memang tiga hari sebelum Imlek. Lilin ini simbol dari penerangan hidup. Ukuran yang datang ke sini macam-macam, tergantung kemampuan ekonomi (umat)," imbuhnya.

Di tubuh lilin-lilin itu, mereka membubuhkan tinta emas tersurat aneka nama, baik pribadi, keluarga, hingga perusahaan, tergantung lingkup mana yang pada Tahun Baru nanti mereka semogakan bersinar bagai pendar lilin.

Meski begitu, ada pula umat yang enggan menuliskan namanya di lilin, sebagai pengejawantahan akan harapan agar seluruh makhluk di alam ini beroleh cahaya, bukan cuma dirinya, keluarganya, atau perusahaannya.

Nantinya, lilin-lilin raksasa ini bakal dinyalakan pada hari Imlek yang jatuh pada Sabtu (25/1/2020) kelak.

Baca juga: Jelang Imlek, Seluruh Lampion Klenteng Petak Sembilan Dicuci Bersih

Kian bongsor lilin itu, kian lama pula cahayanya berpendar -- semakin panjang penerangan pada pribadi, keluarga, atau perusahaan selama Tahun Baru. Begitu anggapan kuno.

Tak heran, sebagian umat berupaya mendonasikan lilin sebesar yang mereka sanggup.

"Paling besar ada yang 500 kati (1 kati = 0,6 kilogram), ada yang 1000 kati. Yang besar-besar bisa (menyala) sampai setengah tahun, jangan main-main," tutur Drajat.

"Umumnya atas nama pribadi, karena seringkali kita mengacu fengshui. Tahun ini lagi enggak bagus, atau gimana. Jadi gimana supaya bagus? Dana (donasi) lilin," ia menambahkan.

Mesti presisi

Lilin-lilin raksasa di ubin Hok Lay Kiong yang jumlahnya bisa tembus 300 batang, bukan terhampar begitu saja. Ada pekerjaan serius di belakangnya.

"Kami kalau sudah mau Imlek, kerjanya nulis-nulis bikin tanda buat di lilin. Supaya orang (umat) nanti gampang carinya," ujar Abdul (44), petugas Klenteng Hok Lay Kiong yang sibuk membolak-balik buku tulis berisi catatan penerimaan lilin dari umat.

Abdul susah diganggu. Permintaan mewawancarai dirinya saja mesti menunggu 30 menit lebih. Selama rentang waktu menunggu itu, Abdul di balik meja dan beberapa petugas lain yang bergelut dengan lilin-lilin raksasa saling balas teriakan.

"579, Juliani!" teriak Abdul.

"579 sudah tadi!" balas rekannya.

Mata Abdul pun kembali menancap di lembar buku tulis dan menelaah ulang identitas pengirim lilin. Jari telunjuknya bantu menuntun matanya merayapi deretan angka-angka di hlaman buku tulis.

Baca juga: Cerita Keberagaman Dari Klenteng Kim Hin Kiong

Kalau Abdul salah mengurutkan catatan lilin, petugas klenteng mesti mengangkat dan menggotong lilin yang berat-berat itu untuk mengurutnya ulang. Koordinasi jadi krusial.

"Kadang-kadang kita sudah kasih tanda yang satu, terus yang satu belum. Itu sudah biasa dalam kerja kayak gini. Cuma khawatirnya salah tempel. Satu salah, ya semua bisa salah," ujar pria yang akrab disapa Dul itu.

Apa saja yang perlu dicocokkan oleh Abdul dan kolega?

Pertama, mereka tak boleh keliru mencocokkan nama pengirim dengan lilin yang dikirim, plus di altar dewa-dewi mana si pemilik ingin lilinnya didirikan.

Setelah cocok, lilin itu diberikan nomor sesuai nomor kuitansi penerimaan.

Soalnya, tak mungkin para umat meneliti satu per satu nama pemilik yang tertoreh di lilin tersebut guna menemukan lilinnya.

Nomor ini bakal memudahkan si pemilik menemukan lilinnya di tengah lautan manusia dan lilin yang semuanya merah menyala pada perayaan Imlek nanti.

Jika pencocokan nama dan nomor tak presisi, itu berarti si pemilik akan menyulut lilin orang lain, dan secara filosofis, "menentukan" nasib orang lain. Bukan hanya pamali, insiden itu sama saja menyulut konflik kecil di hari yang mestinya bahagia.

Segalanya berat, sekaligus ringan

Imlek makin dekat. Lilin-lilin raksasa itu terasa semakin berat oleh tanggung jawab yang teriring bersamanya. Pun bukan hanya lilin, sepasang bola mata juga bagai bertambah bobotnya di pandangan Abdul.

Tidur adalah hal yang langka. Mereka tak bisa semaunya mengelola waktu tidur, sebab kiriman lilin-lilin raksasa dari para umat tiba di waktu yang tak sanggup mereka atur.

"Kurang tidur sudah pasti. Apalagi pas dua hari jelang Imlek, pasti kami tidurnya kurang," Abdul mengakui.

Kerjaan mengurusi lilin-lilin ini bisa bertahan sampai tengah malam. Pulang ke rumah jadi tak masuk akal karena esok subuh mereka harus berjibaku lagi dengan lilin-lilin raksasa itu.

Belum lagi, kian dekat dengan Imlek, umat semakin ramai berdatangan. Mereka memboyong teman dan sanak famili. Intinya, pagi-pagi benar mata mereka yang makin berat itu harus diringan-ringankan agar bisa melek.

"Saya biasanya nginep di wihara di sebelah (klenteng). Semua juga banyakan nginep di wihara," ucap Abdul.

Pertimbangan buat selalu dekat dengan lilin, kendati dalam lelap, bukan hanya masalah jarak dan waktu yang tak efisien.

Keberadaan mereka selalu dibutuhkan sewaktu-waktu di tengah malam sunyi. Kecelakaan tidak ada yang tahu, kebakaran siapa yang bisa menyangka?

Baca juga: Ratusan Polisi Amankan Vihara dan Klenteng Jelang Imlek di Bekasi

"Pas hari H Imlek apalagi. Kalau lilin penuh kan kami jagain. Jangan sampai jatuh tuh, jangan sampai terbakar," jelas Abdul kepada Kompas.com.

Ia mulai ditunggui rekan-rekannya yang ingin sesi wawancara cepat beres sebab tumpukan kerjaan sama padatnya dengan jumlah lilin di Hok Lay Kiong.

"Pokoknya, tanggung jawabnya besar kalau pas Imlek," tandas pria yang mengaku sudah mengemban amanah selaku "penanggung jawab" lilin selama 13 edisi Imlek di Hok Lay Kiong itu.

"Tapi sudah biasa. Kami senang-senang saja," imbuh dia.

Kalimat Abdul jadi pemungkas sesi wawancara. Satu-dua tarikan rokok, lalu Abdul dan kolega kembali memasang mata baik-baik, sebelum tenggelam lagi dalam kesibukan mengurusi lilin-lilin raksasa yang semuanya merah menyala.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com