"WhatsApp dan Twitter saat itu sangat buruk ke saya."
Kondisi mental yang buruk akhirnya berpengaruh pada kesehatan tubuhnya.
Sita mengaku berulang kali menggigil dan gemetar di ruang isolasi.
Sebuah hal yang buruk lantaran Covid-19 akan gampang menyerang saat tubuh lemah.
"Stigma orang-orang ke ibu dan Sita jelek banget di luar. Mereka lalu mem-private media sosialnya," ujar Ratri, yang merupakan penyintas kasus 03 Covid-19, dalam kesempatan yang sama.
Tak pelak, keadaannya makin hancur gara-gara serangan yang menderanya dari sana-sini melalui dunia maya.
Sita memutuskan mengunci akun-akun media sosialnya agar tak dapat diakses publik.
Walau ia sadar bahwa tindakan itu sedikit terlambat karena warganet telanjur membidik layar (screenshot) foto-fotonya.
Selama tujuh hari, Sita berpuasa media sosial, terutama Instagram dan Facebook.
Ia tak kuat melihat komentar-komentar warganet yang menyeramkan baginya saat itu.
"Tujuh hari saya ketakutan, orang-orang komentar yang menyalahkan saya, walau banyak yang dukung juga," ujar Sita.
Dalam kondisi terpuruk, Sita mengaku kagum dengan ketahanan mental kakaknya, Ratri, yang justru bisa memanfaatkan bahkan membalikkan keadaan negatif jadi positif.
Ratri kerap mengirim foto-foto yang menampilkan bahwa dirinya segar dan tak terpengaruh Covid-19 beserta stigma buruk yang melekat.
"Lihat Mbak Ratri kirim foto ke grup keluarga, ternyata saya sadar, perempuan senang untuk dandan. Akhirnya saya bodo amat, dingin-dingin mandi, lalu dandan dan mulai posting di Instagram. Banyak yang dukung. Akhirnya aku buka (akun) untuk publik lagi," Sita mengisahkan.
Selain itu, semangatnya perlahan bertunas karena Ratri sanggup melengkapi foto-foto mereka saat di ruang isolasi dengan caption positif untuk warganet yang selama ini mencerca.
Baca juga: Sembuh dari Covid-19, Pasien 01: Jangan Hakimi Kami, karena Pasien Jadi Korban Dua Kali