Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Dokter: Jangan Keluar Rumah jika Tak Perlu, Jangan Egois...

Kompas.com - 19/05/2020, 12:37 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kamila Fitri Islami sadar bahwa sebagian besar tugasnya sebagai dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat menangani PDP Covid-19, belum akan usai dalam waktu dekat.

Penyebabnya tak lain disebabkan tren ekskalasi kasus Covid-19 di Indonesia yang masih terus melonjak. Belum ada kabar baik.

"Saya pribadi, kalau awal-awal sih, harapannya mungkin masih tinggi. Nanti akan selesai dalam waktu dekat dan kita bisa kembali beraktivitas normal seperti sebelum ada Covid-19," kata dokter sebuah rumah sakit di bilangan Tangerang Selatan itu, ketika dihubungi Kompas.com, Senin (18/5/2020) malam.

"Sekarang, mungkin sudah sering dengar (istilah) 'new normal'. Jadinya sekarang sudah enggak muluk-muluk lagi. Artinya, harapanku bukan semua hilang, tapi mencoba lebih realistis," ungkap dia.

Baca juga: Hal-hal yang Harus Kita Pahami soal New Normal...

Istilah "new normal" belakangan digaungkan pemerintah mendorong masyarakat agar "berdamai dan berdampingan" dengan virus corona yang belum dapat diterka kapan ujungnya.

Rencana menerapkan new normal berkaitan dengan rencana memutar kembali roda aktivitas bisnis dan sosial, seperti membuka mal hingga sekolah.

Bukan hanya new normal, pemerintah juga akan melakukan "pengurangan PSBB", sesuatu yang diklaim oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kemarin, berbeda dengan pelonggaran PSBB.

Jengkel

Bukan hanya wacana new normal yang memupus harapan Kamila, juga ribuan atau jutaan tenaga-tenaga medis lainnya di Indonesia, untuk dapat bernapas lega dalam waktu dekat.

Tanpa pemerintah menginstruksikan pola kehidupan baru --new normal, masyarakat juga tampak mulai abai terhadap protokol kesehatan guna menekan laju penularan Covid-19.

Terutama di masa-masa jelang Lebaran seperti ini, kerumunan kembali timbul di mana-mana seakan Covid-19 sudah lenyap dari muka bumi.

Di Jakarta, Pasar Jiung Kemayoran dan Pasar Tanah Abang sudah kembali berjubel manusia. Di jalanan Ibu Kota, mobil-mobil kembali berdesakan, mengular panjang dalam kemacetan jalan raya.

Sebelumnya, peristiwa ditutupnya gerai makanan cepat saji McDonald's di Sarinah bahkan dirayakan demikian semarak dengan kerumunan orang tanpa aparat kuasa membubarkannya.

Baca juga: McD Sarinah Didenda Rp 10 Juta karena Gelar Seremoni Penutupan Gerai Saat PSBB

Kamila tahu, semakin meningkatnya jumlah kerumunan, maka potensi lonjakan kasus Covid-19 di depan mata. Ia tak habis pikir dengan pola pikir egoistik di balik mulai ramainya lagi tempat-tempat publik.

"Saya rasa juga temen-temen sejawat, kalau ditanya, pasti merasa jengkel. Beberapa bulan terakhir nih sudah dibilangin A sampai Z jangan keluar dan kita sudah usaha, tapi kok masih ada yang egois," ungkap Kamila.

Belakangan, gelombang kekesalan tenaga medis sampai menyeruak ke media sosial. Tagar #IndonesiaTerserah dan #TerserahIndonesia bertahan beberapa hari di jagat Twitter.

Suatu tagar yang mewakili rasa frustrasi para tenaga medis atas lalainya masyarakat terhadap pandemi Covid-19.

Baca juga: Seperti Indira Kalistha, Kenapa Banyak Orang Abai Pandemi Corona?

Lebih dari itu, Kamila menilai, ada yang lebih gawat dari keadaan ini. Sistem layanan kesehatan, termasuk jumlah tenaga medis, ada batasnya untuk menampung lonjakan kasus.

"Sekarang di Jakarta kan sudah zona merah semua. Kita sudah benar-benar tidak tahu pasien tertular dari mana," kata dokter yang akrab disapa Ila itu.

"Dengan di rumah memutus mata rantai itu sudah benar banget untuk setidaknya memperlambat penularan. Seberapa pentingnya? Ya penting."

"Karena kalau ini terus berlanjut tanpa ujung, tenaga kesehatan kan terbatas, di satu sisi kasus terus naik. Selama itu pula rumah sakit terus crowded. Akhirnya rumah sakit bisa shutdown, kan juga tidak menutup kemungkinan. Jangan sampai lah," ujar dia.

Jangan egois

Kamila mengaku sudah terbiasa selama 2,5 bulan ini menangani kasus-kasus berkaitan dengan Covid-19.

Delapan jam sehari ia bertugas. Selama itu pula, sekujur tubuhnya harus dibungkus oleh alat pelindung diri (APD) level 3 --pakaian yang dianggap menyerupai "baju astronot".

Selama delapan jam pula ia dan rekan seprofesi harus menguasai "keterampilan" baru, yakni terampil membendung rasa dahaga, lapar, hingga buang air.

"Sekalinya masuk (ruang infeksius), kita tuh makan, minum, bahkan buang air ke toilet kan tidak bisa. Bisa tapi berarti harus lepas semua, mandi dekontaminasi, kalau ada pasien nanti pakai lagi. Sayang APD, karena APD terbatas. Jadi ya kami nahan," ungkap Kamila.

"Sekarang karena sudah beberapa waktu mungkin jadi terbiasa. Tapi waktu awal sih kaget. Haus, kebelet-kebeletnya itu, sesak napas karena pengap, gerah dan keringatannya," ujar dia.

Baca juga: APD Minim dan Hanya Dibayar Rp 750.000 Per Bulan, 60 Tenaga Medis Mogok Kerja Saat Diminta Tangani Pasien Corona

Di samping itu, lantaran kemungkinan besar dirinya terpapar oleh virus corona, sudah 2,5 bulan pula ia tak pulang ke rumah.

Selama itu juga ia tak pernah memeluk keluarganya, meskipun kini menjelang masa-masa Lebaran, saatnya silaturahim, waktunya berkumpul dengan keluarga.

Sesuatu yang teramat dalam ia rindukan.

"Yang dikangenin itulah ngumpul semua orang-orang terdekat dengan teman maupun keluarga," ucap Kamila.

Menurut data The Conversation, rasio kematian tenaga medis di Indonesia akibat melayani pasien Covid-19 kini ada di angka 6,5 persen. Artinya 6-7 dari 100 kematian akibat Covid-19 merupakan tenaga medis.

Sementara itu, rata-rata global, rasio kematian tenaga medis hanya 0,3 persen.

Bercermin dari statistik ini, seluruh tenaga medis bukan hanya belum pulang selama 3 bulan belakangan.

Menyedihkan, memang, mendapati bahwa mereka juga berpeluang tak akan pulang lagi menemui orangtua, selama-lamanya, karena gugur dalam tugas.

Diam di rumah adalah langkah paling kecil sekaligus langkah paling besar untuk menyelamatkan tenaga medis, selain juga menyelamatkan manusia-manusia lainnya dari potensi tertular Covid-19.

Langkah yang sangat berarti agar sistem kesehatan nasional tak terkapar dihajar badai Covid-19 yang melonjak.

"Butuh effort besar, sudah bukan tempatnya kalau hanya memikirkan diri sendiri, ramai-ramai cari alasan karena bosan di rumah atau segala macam. Yang mengalami itu bukan cuma 1-2 orang saja, tapi semuanya," ujar Kamila.

"Makanya, sebisa mungkin kalau tidak mendesak, jangan egois lah. Diam di rumah itu membantu sekali. Jangan egois benar, jangan mikirin diri sendiri," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kebakaran Tempat Agen Gas dan Air di Depok, Satu Orang Meninggal Dunia

Kebakaran Tempat Agen Gas dan Air di Depok, Satu Orang Meninggal Dunia

Megapolitan
Banyak Warga Berbohong: 'Ngaku' Masih Tinggal di Jakarta, Padahal Sudah Pindah

Banyak Warga Berbohong: 'Ngaku' Masih Tinggal di Jakarta, Padahal Sudah Pindah

Megapolitan
Pendaftaran PPK Pilkada 2024 Dibuka untuk Umum, Mantan Petugas Saat Pilpres Tak Otomatis Diterima

Pendaftaran PPK Pilkada 2024 Dibuka untuk Umum, Mantan Petugas Saat Pilpres Tak Otomatis Diterima

Megapolitan
Asesmen Diterima, Polisi Kirim Chandrika Chika Cs ke Lido untuk Direhabilitasi

Asesmen Diterima, Polisi Kirim Chandrika Chika Cs ke Lido untuk Direhabilitasi

Megapolitan
Selain ke PDI-P, Pasangan Petahana Benyamin-Pilar Daftar ke Demokrat dan PKB untuk Pilkada Tangsel

Selain ke PDI-P, Pasangan Petahana Benyamin-Pilar Daftar ke Demokrat dan PKB untuk Pilkada Tangsel

Megapolitan
Polisi Pastikan Kondisi Jasad Wanita Dalam Koper di Cikarang Masih Utuh

Polisi Pastikan Kondisi Jasad Wanita Dalam Koper di Cikarang Masih Utuh

Megapolitan
Cara Urus NIK DKI yang Dinonaktifkan, Cukup Bawa Surat Keterangan Domisili dari RT

Cara Urus NIK DKI yang Dinonaktifkan, Cukup Bawa Surat Keterangan Domisili dari RT

Megapolitan
Heru Budi Harap 'Groundbreaking' MRT East-West Bisa Terealisasi Agustus 2024

Heru Budi Harap "Groundbreaking" MRT East-West Bisa Terealisasi Agustus 2024

Megapolitan
Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad Mengaku Dipaksa Maju Pilkada 2024

Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad Mengaku Dipaksa Maju Pilkada 2024

Megapolitan
Misteri Sosok Mayat Perempuan dalam Koper, Bikin Geger Warga Cikarang

Misteri Sosok Mayat Perempuan dalam Koper, Bikin Geger Warga Cikarang

Megapolitan
Kekejaman Nico Bunuh Teman Kencan di Kamar Kos, Buang Jasad Korban ke Sungai hingga Hanyut ke Pulau Pari

Kekejaman Nico Bunuh Teman Kencan di Kamar Kos, Buang Jasad Korban ke Sungai hingga Hanyut ke Pulau Pari

Megapolitan
Ulah Sindikat Pencuri di Tambora, Gasak 37 Motor dalam 2 Bulan untuk Disewakan

Ulah Sindikat Pencuri di Tambora, Gasak 37 Motor dalam 2 Bulan untuk Disewakan

Megapolitan
Upaya Chandrika Chika dkk Lolos dari Jerat Hukum, Ajukan Rehabilitasi Usai Ditangkap karena Narkoba

Upaya Chandrika Chika dkk Lolos dari Jerat Hukum, Ajukan Rehabilitasi Usai Ditangkap karena Narkoba

Megapolitan
Mochtar Mohamad Ajukan Diri Jadi Calon Wali Kota Bekasi ke PDIP

Mochtar Mohamad Ajukan Diri Jadi Calon Wali Kota Bekasi ke PDIP

Megapolitan
Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika dkk Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika dkk Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com