Tak hanya itu, lintasan trem yang membelah Batavia dari Meester Cornelis (Jatinegara) ke Pasar Ikan, juga dibangun melewati wilayah Pasar Senen selain Pasar Baru dan Glodok.
Menukil catatan Alwi Shahab, lintasan trem tersebut melintang di depan Rex Theater, sebuah bioskop besar yang kemudian beralih nama menjadi Kramat Theater.
Londo-londo berhak naik trem kelas 1 waktu itu, sedangkan kalangan keturunan Arab dan Tionghoa boleh naik trem kelas 2. Sementara itu, kaum pribumi yang terjajah hanya berhak naik trem kelas 3.
Akan tetapi, kendati menyandang predikat sebagai salah satu simpul penting denyut ekonomi Batavia, jangan dibayangkan bila Pasar Senen zaman itu sesak seperti sekarang.
Baca juga: Sejarah Pasar Senen, Dahulu Hanya Buka di Hari Senin
Orang-orang masih bebas berlalu-lalang tanpa perlu gusar akan berimpitan badan ketemu badan dengan warga lain, kata Alwi. Para pesepeda juga leluasa saja bergowes ke kanan-kiri tanpa takut menubruk pejalan kaki.
Arus duit banyak berputar di Pasar Senen waktu itu. Ia ibarat gula bagi warga yang datang menyemut mencari keperluannya, mulai dari aksesoris sampai hiburan di bioskop.
Tak pelak, toko-toko bermunculun bak cendawan di musim penghujan. Fenomena ini berlangsung sejak akhir era Kolonial hingga awal masa Kemerdekaan, sekitar dekade 1930-1950-an, kata Alwi.
“Di Pasar Senen terdapat tukang peci Idris Halim, merek Pantas. Konon, Bung Karno selalu memesan peci dari tempat ini,” ujar pria yang akrab disapa “Abah Alwi” itu.
“Antara Bioskop Rex dan Tanah Tinggi, banyak toko dan kafe bermunculan, seperti Padangsche Buffert – mungkin rumah makan pertama di Jakarta,” kata dia.
Baca juga: Ini Daftar Acara Virtual Sambut HUT ke-493 DKI Jakarta
Nama-nama pengusaha beken pun santer terdengar di sekitaran Pasar Senen. Salah satunya ialah Djohan Djohor, pengusaha terkenal yang disebut sebagai kawan baik Bung Hatta. Ia berukim di Gang Kwini, dekat RS Gatot Subroto.
“Pada tahun 1930-an ada seorang pribumi yang menjadi pengusaha perdagangan dan perkapalan Dasaad Concern. Sedangkan pengusaha Arab terkenal saat itu adalah Marba, singkatan dari nama Marta dan Bajened. Yang terakhir ini pada 1950-an mati ditembak Bir Ali dari Cikini yang hendak merampoknya,” kata Alwi bercerita, masih dalam buku yang sama.
Bermunculannya toko-toko bahkan menjadi siasat tersendiri memasuki dekade 1940-an dalam upaya menaklukkan Belanda.
Toko-toko milik saudagar berkebangsaan Jepang pun meruyak di Pasar Senen. Bahkan, statusnya oleh Pemerintah Hindia Belanda disamakan dengan golongan Eropa.
Hebatnya, saudagar-saudagar Jepang ini berani banting harga.
Baca juga: Tahun Ini, HUT DKI Jakarta Tanpa Ingar Bingar Jakarta Fair di Kemayoran
“Harga-harga barang di toko milik orang Jepang jauh lebih murah ketimbang produk Eropa dan lokal,” kisah pria kelahiran 1936 itu.