Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Pasar Senen Tempo Dulu, dari Kerajaan Toko hingga Siasat Menaklukkan Belanda

Kompas.com - 20/06/2020, 21:07 WIB
Vitorio Mantalean,
Jessi Carina

Tim Redaksi

 

JAKARTA, KOMPAS.com – Tren bersepeda hari ini menggeliat lagi di Ibu Kota. Selaras dengan upaya Pemprov DKI Jakarta melirik sepeda sebagai moda transportasi alternatif, bersepeda kembali digandrungi.

Tren bersepeda keliling kota terdengar modern. Namun, jika kita melampaui waktu jauh ke masa silam hingga awal tahun 1900-an, penduduk Jakarta – saat itu Batavia – rupanya sudah akrab dengan dunia gowes.

“Kala itu sepeda merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan masyarakat, mulai dari murid, sekolah, pegawai, hingga pedagang,” begitu tulis jurnalis senior Alwi Shahab dalam bukunya Batavia Kota Banjir (2009).

Zaman kolonial hingga awal kemerdekaan, bersepeda juga mengandung nilai prestise. Pemerintah bahkan secara khusus memungut pajak bagi para pesepeda.

Baca juga: Lapangan Monas dari Masa ke Masa, Pernah Jadi Pacuan Kuda

Kepemilikan sepeda harus legal, seperti halnya kepemilikan kendaraan bermotor hari ini. Jika hari ini kita mengenal BPKB sebagai bukti kepemilikan kendaraan bermotor, zaman itu para pesepeda mesti melengkapi tunggangannya dengan “peneng”.

Peneng ini berwujud lempengan besi/emblem yang dipasang di sepeda, sebagai penanda bahwa sepeda tersebut sudah terdaftar sebagai objek pajak. Tanpa peneng, pesepeda bakal kena denda jika terjaring razia waktu itu.

Seiring prestise yang melekat pada bersepeda, beberapa merek akhirnya menjadi primadona para pesepeda di Batavia era itu, sebut saja Humber, Raleigh, Royal & Fill, Fongers, dan Hercules.

Lantas, di mana orang-orang mencari sepeda-sepeda merek tenar beserta seperangkat aksesorinya waktu itu?

Jawabannya adalah Pasar Senen.

Baca juga: Cikal Bakal Menteng, Ambisi Belanda Punya Kota Taman di Batavia

Simpul ekonomi

Pengantar mengenai tren bersepeda di pengujung era kolonial tadi adalah permulaan untuk memperkenalkan bahwa Pasar Senen di pusat Batavia sudah berdenyut sejak lama.

Jauh sebelum hari ini, Pasar Senen yang dibangun pada 1733-1735 silam itu boleh dibilang telah mengemban peran sebagai salah satu jantung ekonomi Batavia selain Pasar Tanah Abang.

"Di depan pasar, tempat kini berdiri (Plaza) Atrium Senen, dulu terdapat Apotek Rathkamp yang setelah Kemerdekaan menjadi Kimia Farma. Dulu, daerah ini disebut Gang Kenanga,” kata Alwi dalam buku yang sama.

“Di sini terdapat toko sepeda terkenal, Tjong & Co,” lanjut dia.

Pemerintah Hindia Belanda juga tampaknya memang mendesain Pasar Senen sebagai salah satu simpul penting aktivitas ekonomi di Batavia.

Baca juga: Sejarah Pasar Senen, Bekas Tempat Tuan Tanah Belanda hingga PKL Era Ali Sadikin

Mulanya, pasar ini buka cuma hari Senin, sehingga dijuluki Pasar Senen. Akan tetapi, jurnalis senior Windoro Adi mencatat, secara bertahap Pasar Senen dibuka sepekan penuh mulai tahun 1766 (Batavia, 1740: menyisir jejak Betawi).

Tak hanya itu, lintasan trem yang membelah Batavia dari Meester Cornelis (Jatinegara) ke Pasar Ikan, juga dibangun melewati wilayah Pasar Senen selain Pasar Baru dan Glodok.

Menukil catatan Alwi Shahab, lintasan trem tersebut melintang di depan Rex Theater, sebuah bioskop besar yang kemudian beralih nama menjadi Kramat Theater.

Londo-londo berhak naik trem kelas 1 waktu itu, sedangkan kalangan keturunan Arab dan Tionghoa boleh naik trem kelas 2. Sementara itu, kaum pribumi yang terjajah hanya berhak naik trem kelas 3.

Akan tetapi, kendati menyandang predikat sebagai salah satu simpul penting denyut ekonomi Batavia, jangan dibayangkan bila Pasar Senen zaman itu sesak seperti sekarang.

Baca juga: Sejarah Pasar Senen, Dahulu Hanya Buka di Hari Senin

Orang-orang masih bebas berlalu-lalang tanpa perlu gusar akan berimpitan badan ketemu badan dengan warga lain, kata Alwi. Para pesepeda juga leluasa saja bergowes ke kanan-kiri tanpa takut menubruk pejalan kaki.

Kerajaan toko: kamuflase Jepang dan intelektual pribumi

Arus duit banyak berputar di Pasar Senen waktu itu. Ia ibarat gula bagi warga yang datang menyemut mencari keperluannya, mulai dari aksesoris sampai hiburan di bioskop.

Tak pelak, toko-toko bermunculun bak cendawan di musim penghujan. Fenomena ini berlangsung sejak akhir era Kolonial hingga awal masa Kemerdekaan, sekitar dekade 1930-1950-an, kata Alwi.

“Di Pasar Senen terdapat tukang peci Idris Halim, merek Pantas. Konon, Bung Karno selalu memesan peci dari tempat ini,” ujar pria yang akrab disapa “Abah Alwi” itu.

“Antara Bioskop Rex dan Tanah Tinggi, banyak toko dan kafe bermunculan, seperti Padangsche Buffert – mungkin rumah makan pertama di Jakarta,” kata dia.

Baca juga: Ini Daftar Acara Virtual Sambut HUT ke-493 DKI Jakarta

Nama-nama pengusaha beken pun santer terdengar di sekitaran Pasar Senen. Salah satunya ialah Djohan Djohor, pengusaha terkenal yang disebut sebagai kawan baik Bung Hatta. Ia berukim di Gang Kwini, dekat RS Gatot Subroto.

“Pada tahun 1930-an ada seorang pribumi yang menjadi pengusaha perdagangan dan perkapalan Dasaad Concern. Sedangkan pengusaha Arab terkenal saat itu adalah Marba, singkatan dari nama Marta dan Bajened. Yang terakhir ini pada 1950-an mati ditembak Bir Ali dari Cikini yang hendak merampoknya,” kata Alwi bercerita, masih dalam buku yang sama.

Bermunculannya toko-toko bahkan menjadi siasat tersendiri memasuki dekade 1940-an dalam upaya menaklukkan Belanda.

Toko-toko milik saudagar berkebangsaan Jepang pun meruyak di Pasar Senen. Bahkan, statusnya oleh Pemerintah Hindia Belanda disamakan dengan golongan Eropa.

Hebatnya, saudagar-saudagar Jepang ini berani banting harga.

Baca juga: Tahun Ini, HUT DKI Jakarta Tanpa Ingar Bingar Jakarta Fair di Kemayoran

“Harga-harga barang di toko milik orang Jepang jauh lebih murah ketimbang produk Eropa dan lokal,” kisah pria kelahiran 1936 itu.

Namun, siapa sangka, toko-toko yang ditukangi oleh warga Jepang itu rupanya berperan sebagai mata-mata. Toko dan strategi banting harganya cuma selubung bagi penyamaran mereka, yang terbukti berhasil.

“Mereka rupanya telah menyiapkan diri untuk menaklukkan Hindia Belanda,” ujar Alwi.

Bukan cuma Nippon alias Jepang yang memanfaatkan Pasar Senen untuk bersiasat menundukkan Belanda. Para intelektual dan aktivis muda pribumi, kata Windoro Adi, juga kerap berkumpul di sini.

“Di antara mereka adalah Adam Malik … serta pasangan Presiden dan Wakil Presiden pertama RI: Soekarno-Hatta,” ujar Windoro dalam bukunya.

Pasar Senen tetap digdaya hingga Kemeredekaan Indonesia diproklamirkan.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, HUT Ke-493 DKI Tanpa Jakarta Fair

Setelah Jepang dan Belanda angkat kaki dari Batavia, pamor Pasar Senen yang diarsiteki oleh seorang Belanda bernama Justinus Vinck itu tak ikut pudar.

Tempat nongkrong jago-jago seni setelah Kemerdekaan, sebelum digilas Ali Sadikin

Memasuki awal masa Kemerdekaan, Pasar Senen masih gelimang. Alwi mengisahkan, pada dekade 1950-an, rumah makan padang Ismail Merapi di wilayah ini kerap jadi tempat nongkrong para seniman Senen, sebut saja Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Sumandjaya, Menzano, Wahid Chan, hingga HB Jassin dan Djamaluddin Malik.

Windoro Adi juga bilang hal yang sama. Para begawan dunia seni asal Jakarta banyak menjadikan Pasar Senen sebagai pusat pertemuan, tak terkecuali Bing Slamet hingga Benyamin Sueb.

Kemunculan toko-toko pun masih terus berlanjut. Alwi mengingat, ada dua toko yang begitu tersohor di wilayah Pasar Senen, namanya Baba Gemuk dan Baba Jenggot.

Kata dia, kasir-kasir di dua toko kondang itu menghitung duit belanjaan dengan sempoa yang “tidak kalah cepat dengan komputer”.

Baca juga: Kusni Kasdut, Penjahat Fenomenal: Perampokan Museum Nasional (1)

Lalu, bagaimana dengan toko sepeda?

Tjong & Co tak lagi jadi satu-satunya toko sepeda paling tenar sekawasan, sejak munculnya toko sepeda milik H Ma’ruf tak jauh dari situ. Putra Ma’ruf kemudian berekspansi ke kawasan Taman Ismail Marzuki dengan mendirikan bioskop Garden Hall.

Kisah-kisah seputar Pasar Senen kini ibarat legenda belaka di tengah Ibu Kota yang terus berderap berbalapan dengan zaman.

Artikel Harian Kompas berjudul "Asam Garam Pasar Berusia 285 Tahun" yang terbit pada 20 Januari 2020 mencatat, Pasar Senen yang dulu sudah digilas oleh pembangunan besar-besaran di wilayah itu pada 1964 silam.

Pembangunan besar-besaran sebagai upaya modernisasi kota itu terjadi ketika Jakarta ada di bawah kekuasaan Gubernur Ali Sadikin.

Kawasan itu dinilai kumuh, dengan lalu lintas, tempat parkir kendaraan, jalan yang sempit serta pasar yang tidak tertata, sedangkan lokasinya sangat dekat dengan Istana.

Proyek ini kemudian dikenal dengan “Proyek Senen” yang digawangi oleh mendiang Ciputra. Pasar Senen digadang-gadang menjadi daerah hunian baru sekaligus daerah industri lengkap, sebagai pusat perdagangan “yang sesuai dengan kebesaran bangsa Indonesia”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad Mengaku Dipaksa Maju Pilkada 2024

Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad Mengaku Dipaksa Maju Pilkada 2024

Megapolitan
Misteri Sosok Mayat Perempuan dalam Koper, Bikin Geger Warga Cikarang

Misteri Sosok Mayat Perempuan dalam Koper, Bikin Geger Warga Cikarang

Megapolitan
Kekejaman Nico Bunuh Teman Kencan di Kamar Kos, Buang Jasad Korban ke Sungai hingga Hanyut ke Pulau Pari

Kekejaman Nico Bunuh Teman Kencan di Kamar Kos, Buang Jasad Korban ke Sungai hingga Hanyut ke Pulau Pari

Megapolitan
Ulah Sindikat Pencuri di Tambora, Gasak 37 Motor dalam 2 Bulan untuk Disewakan

Ulah Sindikat Pencuri di Tambora, Gasak 37 Motor dalam 2 Bulan untuk Disewakan

Megapolitan
Upaya Chandrika Chika dkk Lolos dari Jerat Hukum, Ajukan Rehabilitasi Usai Ditangkap karena Narkoba

Upaya Chandrika Chika dkk Lolos dari Jerat Hukum, Ajukan Rehabilitasi Usai Ditangkap karena Narkoba

Megapolitan
Mochtar Mohamad Ajukan Diri Jadi Calon Wali Kota Bekasi ke PDIP

Mochtar Mohamad Ajukan Diri Jadi Calon Wali Kota Bekasi ke PDIP

Megapolitan
Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika dkk Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika dkk Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Megapolitan
Banyak Warga Protes NIK-nya Dinonaktifkan, padahal 'Numpang' KTP Jakarta

Banyak Warga Protes NIK-nya Dinonaktifkan, padahal "Numpang" KTP Jakarta

Megapolitan
Dekat Istana, Lima dari 11 RT di Tanah Tinggi Masuk Kawasan Kumuh yang Sangat Ekstrem

Dekat Istana, Lima dari 11 RT di Tanah Tinggi Masuk Kawasan Kumuh yang Sangat Ekstrem

Megapolitan
Menelusuri Kampung Kumuh dan Kemiskinan Ekstrem Dekat Istana Negara...

Menelusuri Kampung Kumuh dan Kemiskinan Ekstrem Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Keluh Kesah Warga Rusun Muara Baru, Mulai dari Biaya Sewa Naik hingga Sulit Urus Akta Kelahiran

Keluh Kesah Warga Rusun Muara Baru, Mulai dari Biaya Sewa Naik hingga Sulit Urus Akta Kelahiran

Megapolitan
Nasib Malang Anggota TNI di Cilangkap, Tewas Tersambar Petir Saat Berteduh di Bawah Pohon

Nasib Malang Anggota TNI di Cilangkap, Tewas Tersambar Petir Saat Berteduh di Bawah Pohon

Megapolitan
Bursa Cagub DKI Jakarta Kian Ramai, Setelah Ridwan Kamil dan Syahroni, Kini Muncul Ahok hingga Basuki Hadimuljono

Bursa Cagub DKI Jakarta Kian Ramai, Setelah Ridwan Kamil dan Syahroni, Kini Muncul Ahok hingga Basuki Hadimuljono

Megapolitan
NIK Ratusan Warga di Kelurahan Pasar Manggis Dinonaktifkan karena Tak Sesuai Domisili

NIK Ratusan Warga di Kelurahan Pasar Manggis Dinonaktifkan karena Tak Sesuai Domisili

Megapolitan
Pendeta Gilbert Lumoindong Kembali Dilaporkan atas Dugaan Penistaan Agama

Pendeta Gilbert Lumoindong Kembali Dilaporkan atas Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com