Hal ini, ungkap Sui, berbanding terbalik dengan kondisi sebelum pandemi. Dahulu pelanggan Sui hanya satu sampai dua orang sehari.
Mereka yang datang hanya mereparasi sepedanya, sedikit yang mau beli bekas.
“Bahkan satu minggu bisa tidak ada yang laku,” ucap Sui mengingat-ingat.
Kini situasi sudah berubah. Pandemi Covid-19 ini membawa berkah bagi.
Sepeda lipat memang jadi favorit warga yang datang ke tempat Sui. Karena itu pula Sui sukses menjual puluhan sepeda lipatnya. Laris manis, kata dia.
Ada satu hal mengapa pelanggan puas dengan layanan yang ditawarkan Sui. Sebab, sebelum menjual kembali, Sui sudah pasti memperbaiki sepeda bekas yang dia beli dari orang lain.
Kata dia, sepeda bekas yang dibelinya itu tidak mulus-mulus saja. Kerusakanya pun beragam, ada yang bermasalah di bagiak jok, ada yang tidak punya rem, ada yang bannya botak atau gembos, ada pula yang rantainya bermasalah.
Semua jenis sepeda pun selalu dalam kondisi seperti itu kala masuk ke bengkel Sui. Namun, dengan teliti dia mulai memperbaikinya agar laik gowes.
“Kadang saya cat juga, namanya barang bekas mana bisa dipakai, kalau kurang bagus ya dibenahi lagi,”
Biaya reparasi pun beragam. Setiap sepeda bisa menelan biaya puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Sayang, Sui tak mau memberi tahu detail dapur keuangannya.
Kendati demikian, bukan berarti tak ada masalah mengadang.
Sebulan terakhir kendala mulai akrab dengan usaha Sui. Tokonya kekurangan suku cadang sepeda, beberapa barang yang dibutuhkan tiba-tiba langka.
“Ban luar, ban dalam sama rantai yang paling susah,” kata Sui.
Dia harus putar otak mencari toko penyedia ban dan rantai sepeda di Jakarta. Namun, usahanya tak membuahkan hasil.
Bahkan Sui harus mencari persediaan ban hingga Surabaya. Itu pun hanya mendapatkan 25 ban untuk persediaan.