Tutut harus berpindah-pindah lantai, sebab ada jadwal sterilisasi tiap lantai sehingga ia harus berpindah dari satu lantai, ketika lantai tersebut harus disterilkan
“Dua hari di (lantai) 7, pindah ke (lantai) 4, dua hari di (lantai) 4, pindah ke (lantai) 5, balik lagi di (lantai) 4, baru di isolasi tetap lantai 8 kosong. Ya itu sebenernya karena penuh juga,” ujarnya.
Bahkan, setibanya Tutut di lantai isolasi sebenarnya, beberapa kali Tutut sempat diminta untuk berpindah ruangan.
“Jadi misalnya satu ruangan itu kapasitas dua orang. Tapi ada penambahan pasien. Ya sudah mau enggak mau harus dimasukin juga, jadi seruangan bertiga. Jadi misal aku yang perempuan dua orang, jadi harus dipindah karena ada laki-laki 3 orang yang harus masuk kamar,” lanjut dia.
Di lantai 8, Tutut sempat berpindah sampai dua kali. Ia sempat dipindah dari kamar berkapasitas 2 orang ke kamar berkapasitas 3.
Ketika akan dipindahkan untuk yang ketiga kalinya, agar Tutut bisa kembali menempati kamar kapasitas dua orang, Tutut menolak karena sudah terlalu lelah berpindah-pindah.
"Yang namanya lihat orang meninggal tuh sudah biasa, mau gimana lagi?” ujar Tutut.
Selama di rumah sakit, Tutut menyaksikan banyaknya kematian yang terjadi di depan matanya.
“Masih di UGD, waktu aku di lantai 1 lagi itu, ada 3 orang yang meninggal,” ujar Tutut.
Bukan hanya saat itu, Tutut harus menyaksikan hilangnya nyawa-nyawa pasien lain yang sedang berjuang melawan COVID-19 ketika berada di ruang isolasi.
Baca juga: Ridwan Kamil: Depok Waspada Banjir, Covid-19, dan Pilkada di Tengah Pandemi
“Waktu di lantai 4 juga, seberangku persis juga meninggal,” tambahnya.
Menyaksikan kepergian orang lain berkali-kali, membuat Tutut pasrah akan kondisinya ke depan.
“Dengan ngeliat orang meninggal tuh ya, aku cuma mikir ‘Ya, Allah kalau ini memang sudah waktuku diambil, mudahkanlah, lancarkanlah’ aku enggak mau nyusahin orang. Aku sudah pasrah aja,” tuturnya.
Bahkan, Tutut bahkan menyatakan sudah sempat pamit kepada anak-anaknya sesaat sebelum masuk ke rumah sakit.
Ia sudah pasrah jika tak sembuh dan meninggal dunia. Apalagi, ia memiliki riwayat penyakit jantung dan darah tinggi.
Ia sudah siap saat itu menjadi momen terakhir berkomunikasi dengan anak-anaknya karena protokol pemakaman Covid-19 yang melarang keluarga untuk memakamkan langsung.
Bersyukur, setelah melalui berbagai tantangan dari sebelum hingga ketika masuk dan dirawat di rumah sakit, Tutut dapat pulang ke rumah setelah lebih dari 20 hari menjalani pengobatan.
Tutut mengimbau agar orang-orang dapat lebih peduli dan sadar akan pandemi COVID-19 yang bahayanya sempat ia alami sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.