“Jadi mereka selalu berkomunikasi melalui grup WA dan tidak pernah melalui japri, karena dia (Syahril) tidak mau kata-katanya ketahuan melalui japri. Itu gila, ada gambar ‘burung’ (alat kelamin pria), lalu perempuan dadanya kelihatan semua, gawat,” tutur Guntur.
Ditambah lagi, predator seksual anak itu pun kerap mendekati calon korbannya secara halus, dengan perangai yang baik.
Baca juga: [EKSKLUSIF] Buka-bukaan Ayah Korban Soal Pengurus Gereja di Depok yang Cabuli 23 Anak
Ujungnya, anak-anak calon korban itu tak merasa menjadi korban ketika dilecehkan serta menilai pelecehan oleh Syahril adalah tindakan yang wajar.
"Bahkan, waktu (Syahril) tertangkap pun, saya bertemu dengan dia (salah satu orangtua korban), dia masih menganggap (Syahril) baik," ujar Guntur.
Pada gilirannya, anak-anak maupun orangtua korban pencabulan Syahril turut dibayang-bayangi semacam kewajiban moral untuk menjaga citra gereja sebagai institusi agama.
"Kasus ini dilakukan di salah satu bagian paroki dan bisa terjadi karena si pelaku berada pada posisi aktivitas paroki. Tekanan itu bisa dan biasa terjadi karena korban harus menanggung beban menjaga wajah suci lingkungannya," ungkap Tigor.
"Beban itu menjadikan para korban sebagai seorang yang hina dan biasanya mendapat stigma sebagai penyebab rusaknya citra gereja," ujarnya.
Nahas, anak Guntur rupanya jadi salah satu incaran Syahril. Anak berusia 12 tahun itu dikunci di perpustakaan gereja dan dicabuli di sana pada awal 2020.
Anak itu dicabuli bukan hanya sekali, melainkan tiga kali, dengan tingkatan cabul yang kian esktrem, dari Januari sampai Maret 2020.
Secercah harapan bagi terbongkarnya kasus pencabulan oleh Syahril yang telah terpendam selama bertahun-tahun akhirnya muncul pada awal 2020.
Kelakuan bejat Syahril tercium oleh orangtua anak-anak, termasuk Guntur.
Pihak gereja dengan besar hati tak menutup-nutupi insiden ini dan justru menggelar investigasi soal keterlibatan Syahril.
"Saya mengatakan bahwa terungkapnya kasus ini, tidak menjadikan gereja merasa bangga atau bahagia," kata pastor paroki Yosep Sirilius Natet kepada Kompas.com, 15 Juni 2020.
"Ini menjadi sebuah cermin bagi gereja untuk tetap berbenah di dalam. Gereja berani bersikap dan berani mengakui kesalahannya, kalau memang ini menjadi bagian dalam dirinya. Ini juga menjadi bagian dalam mengupayakan sesuatu agar gereja semakin baik lagi," ungkap dia.
Meski begitu, dalam perjalanannya, memproses kasus ini hingga tuntas bukan perkara gampang.
Baca juga: Pencabulan Anak oleh Pejabat Gereja di Depok: Cerita Orangtua Depresi, Minta Ikut Direhablitasi
Selain mesti berurusan dengan institusi agama, korban yang masih anak-anak juga menjadi tantangan terbesar.
Tak mudah mengungkit insiden traumatis yang telah menancapkan luka mendalam pada psikologis mereka.
"Dia jadi pendiam, mengurung diri. Dia sih enggak mengungkapkan ke saya langsung, tapi ketika ada kakaknya ngajak pertemuan (di gereja), dia bilang, dia marah ke saya, 'Saya takut ada pembina (Syahril) juga di sekitar situ. Saya malu sama dia'," ujar M menceritakan situasi sulit saat anaknya baru mengaku Syahril telah mencabulinya.
"Terus dia juga mengungkapkan, selama proses pemulihan ini, dia jijik dengan dirinya," lanjut M.
Di tempat lain, Tigor dkk berjibaku menghimpun alat bukti agar kasus ini dapat segera berlanjut ke meja hijau.
Berulang kali Tigor mengeluhkan langkah penyidik yang lelet mencari alat bukti dan seakan menunggu dari pihak korban.