JAKARTA, KOMPAS.com - Memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno tak lantas memuluskan pekerjaan Friedrich Silaban sebagai arsitek Masjid Istiqlal.
Friedrich terpilih menjadi perancang desain Masjid Istiqlal lewat sayembara yang diumumkan pada 5 Juli 1955.
Karya Friedrich dengan judul "Ketuhanan" berhasil memenangi hati para dewan juri, termasuk Soekarno.
Baca juga: Putra Friedrich Silaban: Ayah Pakai Nama Samaran demi Terpilih Jadi Arsitek Masjid Istiqlal
Putra Friedrich, Panogu Silaban, mengungkapkan bahwa ayahnya dan Soekarno sejatinya sudah dekat sebelum adanya sayembara.
Friedrich, lanjut Panogu, meminta izin Soekarno untuk mengikuti sayembara pencarian arsitek Masjid Istiqlal itu.
"Dia (Friedrich) pernah bertanya kepada Soekarno langsung, 'Ini mau ngadain sayembara Istiqlal loh? Saya ikut enggak ya?' Mereka memang dekat ya. Lalu (Soekarno jawab), 'Tapi kalau ikut harus pakai nama samaran. Kalau enggak, enggak ada yang mau milih'," kata Panogu dalam wawancara dengan tayangan Singkap Kompas TV pada akhir Februari 2018.
Saking dekat, Soekarno bahkan pernah bertamu ke rumah Friedrich di Bogor, Jawa Barat.
Terlepas dari kedekatan dengan seorang Presiden, Friedrich harus menghadapi pergolakan sebagai perancang desain Masjid Istiqlal.
Saat ditetapkan sebagai pemenang sayembara desain Masjid Istiqlal, Friedrich menerima hadiah berupa medali emas seberat 75 gram, uang tunai sebesar Rp 25.000, dan sertifikat.
Menurut penelitian berjudul "Biografi Friedrich Silaban Perancang Arsitektur Masjid Istiqlal" karya Ojak Pasu P Simamora; Dra Bedriati Ibrahim, MSi; dan Bunari, MSi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Friedrich sempat mempertanyakan imbalan yang tidak memadai dibandingkan skala proyek yang ia tangani.
Friedrich bahkan sempat bertanya langsung kepada Soekarno tentang hadiah sebesar Rp 25.000 itu perihal apakah imbalan kecil tersebut juga mengecilkan arti sayembara itu.
Sebab, menurut Friedrich, berdasarkan standar internasional, hadiah bagi pemenang sampai peringkat 3 dalam sayembara arsitektur semestinya mendapat 0,5 hingga 1 persen dari total biaya bangunan (Bowsom).
Faktanya, hadiah yang diterima para pemenang perancang Masjid Istiqlal sekitar 0,005 hingga 1 persen dari standar terendah yang berlaku saat itu.
Di sisi lain, Soekarno menekankan kepada Friedrich bahwa ia nantinya mendapat imbalan merujuk pada standar Indonesische Raad Voor Technische Arbitrage (IRTA) yang adalah Dewan Arbitrasi Arsitek Indonesia.
Tak hanya jumlahnya yang kecil, Friedrich juga harus lama menunggu hadiah uang tersebut.