JAKARTA, KOMPAS.com - Perjalanan panjang pengendalian banjir Jakarta yang hingga kini tidak tuntas pernah melibatkan beberapa pihak, termasuk negara dan lembaga asing.
Setelah Belanda tak lagi berkuasa di Nusantara, Indonesia pernah meminta bantuan negara itu terkait pengendalian banjir Jakarta.
Buku Sistem Polder dan Tanggul Laut Penanganan Banjir Secara Madani di Jakarta yang ditulis Sawarendro menyebutkan, akibat banjir besar di Jakarta tahun 1970, Presiden Kedua RI Soeharto meminta secara langsung bantuan teknis kepada Pemerintah Belanda untuk menanggulangi banjir Jakarta.
Belanda kemudian membentuk The Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta dari Netherlands Engineering Consultants (NEDECO) tahun 1973.
Baca juga: Dari Bang Ali hingga Ahok, Cerita Para Mantan Gubernur DKI Tangani Banjir di Jakarta
Konsep pengendalian banjir yang diambil NEDECO adalah mengalihkan aliran air sungai yang masuk ke wilayah Jakarta dengan cara rehabilitasi sistem drainase yang ada untuk disatukan secara efisien. Kemudian terciptalah rancangan Kanal Banjir Timur (KBT) dari Sungai Cipinang ke arah timur sebagai penampungan dan pengalihan banjir dari sungai-sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung.
NEDECO juga merekomendasikan Kanal Banjir Barat (KBB) untuk dilebarkan di titik belokan utara Sungai Angke demi menampung aliran di Sungai Grogol.
Rekomendasi yang keluar di tahun 1973 tersebut diharapkan bisa sepenuhnya terealisasi di tahun 1985. Namun pada kenyataannya KBT baru selesai di akhir tahun 2010.
Selesainya KBT ternyata tak langsung membuat permasalahan banjir Jakarta beres.
Jepang sebenarnya sudah mewanti-wanti Pemerintah Indonesia bahwa KBT tidak akan menyelesaikan masalah banjir di Jakarta.
Melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1991, Jepang mengatakan masalah utama banjir di Jakarta adalah laju urbanisasi yang sangat pesat dan mengakibatkan beban drainase bertambah.
Dampaknya, risiko banjir di dalam kota meningkat.
Studi yang dikeluarkan JICA menekankan bahwa proyek pembangunan KBB dan KBT akan berhasil apabila perubahan pola penggunaan lahan akibat proses urbanisasi yang sangat cepat disertai dengan pembangunan sistem drainase yang layak.
JICA kemudian mengeluarkan perumusan master plan drainase, sanitasi, dan pembangunan saluran limbah seluruh kota untuk tahun 2010.
Selain itu, pembangunan jembatan di sisi-sisi sungai juga harus diperhitungkan dengan tinggi tanggul yang ada.
Studi yang dilakukan JICA menilai tinggi bebas dari jembatan di banyak sungai Jakarta tidak memadai sehingga menjadi jalur melubernya air sungai.