JAKARTA, KOMPAS.com - Polisi telah memeriksa tujuh orang saksi terkait kasus kartel kremasi yang belakangan viral di media sosial.
"Kita periksa dua orang dari pihak pengelola Rumah Duka Abadi, satu orang dari pihak yang membuat berita viral, satu orang pengelola Krematorium Mulia Karawang, yang lain saksi-saksi terkait," kata Kasat Reskrim Polres Jakarta Barat Kompol Joko Dwi Harsono dalam sebuah video rekaman wawancara, Jumat (23/7/2021).
Kesimpulan sementara berdasar pemeriksaan, Joko menyebut tidak ada kartel kremasi terorganisir, melainkan praktik percaloan.
Baca juga: Dugaan Kasus Kartel Kremasi, Polisi Periksa Pihak Rumah Duka Abadi Jakbar
"Kesimpulan sementara, memang ada dugaan praktik percaloan atau makelar tapi sifatnya pribadi pribadi bukan terorganisir seperti kartel, tidak ada kerja sama di antara mereka," ungkap Joko.
Menurut Joko, motif pelaku dalam kasus ini adalah mencari keuntungan.
"Modusnya mereka itu cari informasi lalu karena ada orang yang butuh mereka naikkan harga dengan motif mencari keuntungan," kata Joko.
Kata Joko, hingga kini, belum ada korban yang membuat laporan kasus ini. Meski demikian, polisi tetap mengembangkan kasus ini lebih jauh.
Baca juga: Bareskrim Polri Selidiki Dugaan Kartel Kremasi Jenazah Covid-19
Sebelumnya, sebuah pesan berantai berjudul 'Diperas Kartel Kremasi' viral di media sosial.
Korban bernama Martin mengungkapkan lonjakan harga kremasi yang harus dikeluarkan di masa pandemi Covid-19 bisa mencapai Rp 80 juta.
Dalam pesan tersebut, Martin, warga Jakarta Barat, mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia pada 12 Juli 2021. Dinas Pemakaman DKI Jakarta membantu mencarikan kremotrium untuk ibunya.
"Kemudian kita dihampiri orang yang mengaku Dinas Pemakaman menyampaikan bahwa paket kremasi Rp 48,8 juta, jenazah bisa segera dikremasi di Karawang, dan harus cepat karena RS lain juga ada yang mau ambil slot ini," tulis orang bernama Martin dalam pesan tersebut.
Baca juga: Kasus Kartel Kremasi, Polisi Periksa Staf Krematorium di Karawang
Martin mengaku terkejut dengan biaya yang disebutkan petugas. Pasalnya, enam minggu sebelumnya, kakak Martin meninggal dunia dan dikremasi dengan biaya tak sampai Rp 10 juta. Dua minggu setelahnya, besan dari kakak Martin dan anak perempuannya juga meninggal dunia akibat Covid-19. Saat itu biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 24 juta per orang.
"Bagaimana harga bisa meroket begini tinggi dalam waktu singkat?" kata Martin.
Martin mencoba menghubungi beberapa krematorium di wilayah Jabodetabek. Namun, sebagian besar tidak mengangkat telepon darinya. Sementara sebagian yang mengangkat telepon mengatakan krematorium sudah penuh.
Martin mencoba menghubungi pihak yang dulu mengurus kremasi kakaknya. Namun, pihak tersebut mengatakan biaya telah melonjak seperti yang dikatakan petugas yang mengaku dari Dinas Pemakaman.