DEPOK, KOMPAS.com - Setelah Dewan Guru Besar (DGB), kini unsur-unsur lain di Universitas Indonesia (UI) kompak meminta Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI dicabut. Mereka, yang terdiri dari para guru besar, dosen, komunitas mahasiswa, mahasiswa perorangan, dan paguyuban pekerja, mengatasnamakan diri sebagai "Gerakan Peduli UI".
"Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia pada tanggal 2 Juli 2021 mengandung cacat formil dan materiil," ujar Leon Alvinda, perwakilan mahasiswa sekaligus Ketua BEM UI, melalui keterangan resmi aliansi tersebut kepada Kompas.com, Rabu (28/7/2021).
Dalam pernyataan sikap tersebut, Gerakan Peduli UI menyampaikan dua tuntutan. Pertama, menuntut pemerintah mencabut PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.
Baca juga: Patgulipat Revisi Statuta UI Berujung Tudingan Cacat Formil dan Materiil dari Dewan Guru Besar
Kedua, menuntut dilibatkannya empat organ UI, yaitu Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Dewan Guru Besar, dan Rektor, serta seluruh civitas akademika UI, dalam proses merevisi statuta kampus.
"Pernyataan sikap ini, per 28 Juli 2021 pukul 15.00 WIB, sudah diisi oleh 109 organisasi/UKM/komunitas mahasiswa, 71 guru besar dan dosen, 199 individu mahasiswa, dan Paguyuban Pekerja UI (PPUI)," kata Leon.
Sebagai informasi, Presiden RI Joko Widodo merevisi Statuta UI dari Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 pada 2 Juli 2021. Salah satu ketentuan kontroversial yang jadi sorotan adalah hilangnya larangan rangkap jabatan bagi Rektor UI di posisi komisaris BUMN.
Ketika revisi itu diteken, Rektor UI saat ini, Ari Kuncoro, menjabat komisaris utama di BRI selama hampir 1,5 tahun terakhir.
Dewan Guru Besar sebagai salah satu organ UI pada rapat pleno 23 Juli 2021 sudah menyatakan bahwa revisi Statuta UI mengandung cacat formil dan materiil. Artinya, ada prosedur yang tidak beres selama penyusunan revisi serta ada ketentuan yang bermasalah di dalam Statuta UI hasil revisi.
Dalam pernyataannya, DGB UI mengaku memiliki sejumlah dokumen kronologis yang pada intinya menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan prosedur dalam revisi Statuta UI itu.
"Dan tidak dipenuhinya asas keterbukaan dalam penyusunan PP Nomor 75 Tahun 2021 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan," ungkap Harkristuti Harkrisnowo, Ketua DGB UI dalam keterangan resminya.
Harkristuti menyebutkan, DGB UI pernah mengirim tiga orang perwakilan untuk mengikuti proses penyusunan revisi Statuta UI hingga terakhir kali pada 30 September 2020, dalam sebuah rapat di Kemendikbudristek. Ia berujar, para guru besar itu sebetulnya tidak melihat ada urgensi atau alasan untuk merevisi Statuta UI.
"Tapi, karena diminta, ya kami sekadar menyempurnakan. Prinsip check and balance dan good university governance tetap dipertahankan," kata ahli hukum pidana itu.
Baca juga: Statuta UI Baru Dianggap Cacat Formil, Dewan Guru Besar Desak Jokowi Cabut
Pasal-pasal bermasalah yang saat ini muncul pun belum dibahas saat itu, kata Harkristuti, sehingga DGB UI tak tahu-menahu sampai pasal-pasal kontroversial hasil revisi itu muncul dan ditandatangani Presiden.
"Pada 19 Juli 2021, DGB UI tiba-tiba menerima salinan PP Nomor 75 Tahun 2021. Setelah diamati, DGB UI berkesimpulan bahwa penerbitan tersebut tanpa mengikuti proses pembahasan RPP (revisi PP)," kata Harkristuti.
"... Baik di internal UI bersama tiga organ lainnya (Rektor, Majelis Wali Amanat) dan Senat Akademik, maupun rapat-rapat di Kemenristekdikti, di Kemkumham dan di Sekretariat Negara, antara bulan Oktober 2020 sampai terbitnya PP pada Juli 2021," kata dia.