JAKARTA, KOMPAS.com - Dua orang wanita mengaku korban mafia tanah menyambangi Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Senin (29/11/2021) sore. Keduanya hendak menanyakan perkembangan kasus yang merugikan mereka puluhan miliar pada 2017 silam.
Salah satu korban, Sri Budiastuti (64) mengungkapkan, dia dan korban lain, yakni Dwi Latar menjadi korban mafia tanah saat hendak menjualnya asetnya pada 2017. Laporan itu teregistrasi dengan nomor LP/3267/VII/PMJ/Ditreskrimum tertanggal 13 Juli 2017.
Namun, keduanya merasa bahwa sampai saat ini laporan tersebut tak kunjung diselidiki kepolisian.
"Kasus saya dari tahun 2017 sampai sekarang belum selesai. Masih kayak gini saja, progresnya lambat banget. Padahal saya mulai lapor Juli 2017," ujar Sri di depan Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Senin (29/11/2021).
Baca juga: Tersangka Kasus Mafia Tanah Nirina Zubir Merasa Dijebak, Kuasa Hukum: Namanya Dipakai Jual Beli
Sri mengaku bahwa dia dan Dwi, belum pernah mendapat informasi perkembangan hasil penyelidikan, maupun nasib aset senilai Rp 38 miliar yang diambil alih pelaku.
"Kebetulan kasus saya dan Ibu Dwi terlapornya sama, kalau sekarang kasusnya disebutnya mafia tanah. Nah saya ini kena pas awal-awal (2017)," ungkap Dwi.
Sri bercerita, kasus itu berawal ketika dia hendak menjual tanah miliknya yang berlokasi di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Sementara tanah Dwi berada di Prapanca, Jakarta.
Saat itu, terdapat pembeli yang ingin membeli tanah Sri dan Dwi dengan sistem kredit. Keduanya pun tertarik dengan tawaran tersebut.
Sri dan Dwi lalu diminta menitipkan sertifikat tanah miliknya dan menandatangani sebuah dokumen oleh notaris yang membantu proses jual beli.
"Awalnya bilangnya kayak surat perjanjian dia kasih DP ke saya, saya taruh sertifikat katanya aman. Nanti sampai pada saat KPR bank, uang saya dilunasi," kata Sri.
Baca juga: Polisi Tunggu Hasil Analisa Sampel Bangunan SMA 96 Jakarta yang Roboh
"Saya sih percaya disuruh titipkan sertifikat. Katanya masalah PPB, pokoknya yang untuk masalah-masalah itu di notaris," sambungnya.
Setelah enam bulan, Sri dan Dwi tak kunjung mendapat uang pembayaran yang dijanjikan oleh pembeli dan notaris. Keduanya justru mendapat informasi bahwa sertifikat tanah telah dibalik nama oleh sang notaris.
"Surat-surat tanah setelah saya taruh di notaris beberapa bulan kemudian sudah dibalik nama tanpa sepengetahuan saya loh ya," kata Sri.
"Saya baru tahu setelah beberapa bulan kemudian. Padahal kami enggak pernah tandatangan surat kuasa jual. Sudah bilang ke penyidik itu palsu," sahut Dwi.
Akibat peristiwa itu, Dwi kehilangan aset tanahnya senilai Rp 25 miliar. Sedangkan Sri mengalami kerugian Rp 13 miliar.
Keduanya pun berharap kepolisian memberikan kepastian soal kelanjutan kasus mafia tanah yang dilaporkannya, sehingga aset bisa kembali.
Baca juga: Ketika Anies Kembali Bergabung dalam Demo Buruh, Ikut Kritik UMP DKI dan Terpaksa Teken SK
"Kasusnya masih dalam penyelidikan melulu bahkan sampai 2020 awal. Jadi alasannya karena dalam kurun waktu sekian tahun orang-orangnya (terlapor) sudah pada hilang," kata Sri
"Ya iyalah empat tahun enggak selesai," pungkas Dwi.
Saat dikonfirmasi, Kasubdit Harda AKBP Petrus Silalahi mengaku belum mendapat informasi secara terperinci terkait kasus mafia yang menimpa Sri dan Dwi.
Namun, Petrus memastikan akan memeriksa laporan kasus yang disebut sudah bergulir sejak 2017 itu.
"Saya belum mendapatkan informasi soal itu. Bisa jadi di Subdit yang lain mas. Tetapi akan saya cek kembali, terima kasih atas informasinya," ungkap Petrus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.