Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Vihara Lalitavistara, Berawal dari Pedagang Tionghoa Terdampar di Utara Jakarta

Kompas.com - 02/02/2022, 17:46 WIB
Sania Mashabi,
Nursita Sari

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Di ujung utara Jakarta, tepatnya di Jalan Cilincing Lama, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, berdiri sebuah bangunan kokoh dengan gaya arsitektur Tionghoa.

Orang-orang mengenal bangunan itu dengan nama Vihara Lalitavistara.

Wihara ini memiliki keunikan karena selain menjadi tempat ibadah, juga memiliki sebuah sekolah yang dinamai Mahaparasta dan klinik kesehatan.

Aktivitas ibadah, sekolah, dan layanan kesehatan itu berjalan berdampingan.

Baca juga: Sejarah Panjang Vihara Dharma Bakti, Tragedi Angke hingga Kebakaran 2015

Bahkan, sekolah dengan jenjang pendidikan tingkat TK hingga SMP itu 85 persen siswanya adalah muslim.

"Jadi masyarakat sekitar sangat terbantu sekali dengan keberadaan sekolah, dan klinik kami juga open untuk masyarakat sekitar," kata Kepala Operasional Vihara Lalitavistara Biksu Duta Kshanti.

Duta memastikan, meski memiliki perbedaan, kehidupan di wihara dan masyarakat sekitar tetap terjalin harmonis.

"Jadi kami terhadap masyarakat baik dan masyarakat juga sangat melindungi kami juga, tidak ada persoalan minoritas atau mayoritas, sangat harmonis sekali," tuturnya.

Sejarah berdirinya wihara

Pendirian wihara ini berawal dari seorang pedagang Tionghoa yang kapalnya terdampar di daerah Cilincing. Dahulu, lokasi tersebut tak jauh dari pelabuhan.

"Pada awalnya dulu ada satu pedagang dari Tiongkok, tiba-tiba kapalnya terdampar, enggak ada air," ujar Biksu Duta.

Setelah itu, pedagang tersebut melihat satu papan nama bertulisan "San Guan Da Di" yang berarti tiga penguasa, yakni penguasa langit, penguasa bumi, dan penguasa air.

"Dia memberikan penghormatan, berharap ada dewa yang bisa membantu. Enggak lama tiba-tiba benar, ada air pasang kembali dan kapalnya bisa kembali melaut," ucapnya.

Baca juga: Menengok Keanggunan Vihara Tanda Bhakti Jakarta, Simbol Kebangkitan Keturunan Tionghoa dari Masa Kelam

Setelah bisa berlayar kembali, pedagang tersebut bertekad untuk membuat tempat peribadatan yang dijadikan sebagai altar San Guan Da Di.

Hingga akhirnya, guru dari kakek buyut Duta menemukan tempat peribadatan tersebut.

"Nah oleh kakek buyut guru kami, saya kan generasi ketiga, jadi gurunya kakek saya datang dari Tiongkok, menemukan tempat ini, kemudian dibangun tempat peribadatan keagamaan Buddha. Jadi sebelum dibangun jadi wihara itu adalah kelenteng," tuturnya.

Duta tak bisa menjelaskan secara pasti tahun berapa tepatnya bangunan ini dibangun.

Baca juga: Kisah 7 Sumur di Vihara Gayatri Depok, Dipercaya Beri Kesembuhan hingga Bikin Enteng Jodoh

Yang jelas, usia papan San Guan Da Di disebut sudah berusia lebih dari 300 tahun, sedangkan wiharanya sendiri berusia sekitar 120 tahun.

Lalitavistara sendiri dipaparkan Duta berasal dari salah satu nama di kitab suci Tripitaka.

"Di mana kitab itu menceritakan perjalanan hidup guru kami, sakyamuni Buddha dari lahir, kemudian mulai bertapa meninggalkan istana, kemudian sampai pencerahan sempurna, kemudian memaparkan darma sampai parinirvana," kata dia.

Direkomendasikan jadi cagar budaya

Vihara Lalitavistara kini masuk ke dalam daftar yang direkomendasikan sebagai cagar budaya.

Suku Dinas Kebudayaan Kota Jakarta Utara merekomendasikan 16 obyek untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.

Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara Rofiqoh mengatakan, pihaknya telah mengajukan rekomendasi tersebut kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Enam belas obyek itu yakni Vihara Lalitavistara (Kelenteng Ling Ying Si), Kelenteng Ancol atau Vihara Bahtera Bhakti, gedung eks Balai Perikanan, Gudang Texmaco (Westzijde Zeeburg atau Pakhuis).

Baca juga: Vihara Bahtera Bhakti, Wihara Bersejarah yang Direkomendasikan Jadi Cagar Budaya

Kemudian, Jalan Bandengan Utara, Jalan Ekor Kuning, Jalan Kakap, Jalan Krapu, Jalan Pakin, Jalan Petak Asem 1, Jalan Tongkol, Jalan Semut Ujung, Jalan Kembung, Pelabuhan Sunda Kelapa, Kali Semut, dan fondasi rel kereta api di Kali Semut.

Rofiqoh mengatakan, seluruh obyek akan dikaji secara berkesinambungan selama 2022.

Setelah itu, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) akan memberikan rekomendasi untuk ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta.

“Untuk dapat ditetapkan sebagai cagar budaya, TACB akan memberikan rekomendasi untuk ditetapkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta,” kata Rofiqoh.

Baca juga: Kelenteng Hok Lay Kiong di Kota Bekasi, Saksi Bisu Perjuangan Buruh Melawan VOC

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya, bangunan, situs, maupun benda dapat dikatakan cagar budaya apabila memenuhi sejumlah syarat.

Syarat itu antara lain berusia minimal 50 tahun, memiliki arti khusus sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Megapolitan
Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Megapolitan
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Megapolitan
Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Megapolitan
Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Megapolitan
BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Megapolitan
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Megapolitan
Duka pada Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka pada Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antarpribadi

Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antarpribadi

Megapolitan
Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com