JAKARTA, KOMPAS.com - Di ujung utara Jakarta, tepatnya di Jalan Cilincing Lama, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, berdiri sebuah bangunan kokoh dengan gaya arsitektur Tionghoa.
Orang-orang mengenal bangunan itu dengan nama Vihara Lalitavistara.
Wihara ini memiliki keunikan karena selain menjadi tempat ibadah, juga memiliki sebuah sekolah yang dinamai Mahaparasta dan klinik kesehatan.
Aktivitas ibadah, sekolah, dan layanan kesehatan itu berjalan berdampingan.
Baca juga: Sejarah Panjang Vihara Dharma Bakti, Tragedi Angke hingga Kebakaran 2015
Bahkan, sekolah dengan jenjang pendidikan tingkat TK hingga SMP itu 85 persen siswanya adalah muslim.
"Jadi masyarakat sekitar sangat terbantu sekali dengan keberadaan sekolah, dan klinik kami juga open untuk masyarakat sekitar," kata Kepala Operasional Vihara Lalitavistara Biksu Duta Kshanti.
Duta memastikan, meski memiliki perbedaan, kehidupan di wihara dan masyarakat sekitar tetap terjalin harmonis.
"Jadi kami terhadap masyarakat baik dan masyarakat juga sangat melindungi kami juga, tidak ada persoalan minoritas atau mayoritas, sangat harmonis sekali," tuturnya.
Pendirian wihara ini berawal dari seorang pedagang Tionghoa yang kapalnya terdampar di daerah Cilincing. Dahulu, lokasi tersebut tak jauh dari pelabuhan.
"Pada awalnya dulu ada satu pedagang dari Tiongkok, tiba-tiba kapalnya terdampar, enggak ada air," ujar Biksu Duta.
Setelah itu, pedagang tersebut melihat satu papan nama bertulisan "San Guan Da Di" yang berarti tiga penguasa, yakni penguasa langit, penguasa bumi, dan penguasa air.
"Dia memberikan penghormatan, berharap ada dewa yang bisa membantu. Enggak lama tiba-tiba benar, ada air pasang kembali dan kapalnya bisa kembali melaut," ucapnya.
Setelah bisa berlayar kembali, pedagang tersebut bertekad untuk membuat tempat peribadatan yang dijadikan sebagai altar San Guan Da Di.
Hingga akhirnya, guru dari kakek buyut Duta menemukan tempat peribadatan tersebut.
"Nah oleh kakek buyut guru kami, saya kan generasi ketiga, jadi gurunya kakek saya datang dari Tiongkok, menemukan tempat ini, kemudian dibangun tempat peribadatan keagamaan Buddha. Jadi sebelum dibangun jadi wihara itu adalah kelenteng," tuturnya.