Dalam tuntutannya, jaksa menyebut bahwa Yusmin dan Fikri sebagai anggota kepolisian abai dalam menggunakan senjata api.
Keduanya didakwa Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas tuntutan tersebut, kuasa hukum kedua terdakwa kemudian memutuskan untuk mengajukan pleidoi atau pembelaan. Namun demikian, pada persidangan yang digelar Jumat (18/3/2022), kedua divonis lepas.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan hingga membuat orang meninggal dunia.
Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena alasan pembenaran, yakni menembak untuk membela diri, sebagaimana disampaikan dalam pleidoi atau nota pembelaan kuasa hukum.
Baca juga: Dua Polisi Penembak Laskar FPI Divonis Lepas, Kuasa Hukum Korban: Sudah Diduga sejak Awal
Dengan demikian, majelis hakim memutuskan melepaskan kedua terdakwa dari tuntutan hukum dan memulihkan kedudukan, hak, dan martabatnya.
"Menyatakan kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena adanya alasan pembenaran dan pemaaf," ujar hakim.
Atas putusan itu jaksa memutuskan untuk pikir-pikir. Sementara, diwakili kuasa hukumnya Henry Yosodiningrat, kedua terdakwa menyatakan menerima putusan itu.
“Kami menerima putusan itu Yang Mulia,” ucap Henry.
Jauh sebelum vonis lepas yang dijatuhkan hakim, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga sudah menyelidiki dan membuat kesimpulan atas insiden di KM 50 ini.
Komnas HAM menyatakan memang ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu, karena empat dari enam anggota laskar FPI tewas ketika sudah dalam penguasaan aparat kepolisian.
Namun Komnas HAM menegaskan insiden penembakan itu tak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Sebut Penembakan 6 Laskar FPI Bukan Pelanggaran HAM Berat, Komnas HAM: Ada Perintah Penguntitan
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik pada 14 Maret 2021 lalu mengatakan, pihaknya tidak menemukan bukti pelanggaran HAM berat dalam penembakan 6 laskar FPI oleh pihak kepolisian.
Taufan menjelaskan, berdasarkan Statuta Roma, suatu kasus dapat dikategorikan masuk dalam kriteria pelanggaran HAM berat ketika tindakan penyerangan dan pembunuhan itu merupakan hasil dari sebuah kebijakan atau lembaga negara.
"Kalau kita lihat kasus (penembakan 6 laskar) FPI apakah ada kebijakan dalam hal ini kepolisian atau lembaga negara ya Presiden begitu? Itu tidak kita temukan," ujar Taufan.
Taufan melanjutkan, bahwa Komnas HAM hanya menemukan perintah dari pihak kepolisian untuk melakukan penguntitan.
"Ada perintah penguntitan kami temukan, bukan penyerangan dan pembunuhan pada masyatakat sipil. Kalau itu (perintah penguntitan) diakui. Polda Metro Jaya juga tunjukan pada kami surat perintahnya," papar Taufan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.