Jika CFW tidak di-HaKI-kan, tidak ada yang bisa mempertahankan, melindungi, dan/atau memberikan sanksi hukum jika ada orang/kelompok lain yang mendistorsi, memutilasi, atau memodifikasi gelaran sama atau menyerupai CFW, kemudian mencatatkan HaKI-nya. Juga tidak ada yang bisa mengklaim atas "hak ekonomi"-nya.
Termasuk jika ada pihak lain yang melakukan hal-hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasi CFW.
Jika ini yang terjadi, maka CFW bisa hanya tinggal nama, dan pada akhirnya akan ditinggalkan oleh publik.
Sebenarnya, dalam konteks ini, ikhtiar dua label/brand untuk meng-HaKI-kan CFW perlu diapresiasi. Sejauh “hak ekonomi” bukan menjadi tujuan utama melainkan untuk melindungi “hak moral” mereka.
Di atas semua itu, permohonan pencatatan tentu harus dilakukan atas dasar persetujuan dan kesepakatan mereka.
Jika pada akhirnya tidak ada satupun yang meng-HaKI-kan, harus ada upaya konstruktif untuk memfasilitasi mereka agar CFW bisa eksis dan berkembang, serta menjadi gelaran yang pilih-sanding di selasar nasional, bahkan di jagad semesta.
Dalam hal ini, kehadiran pihak lain untuk mengadvokasi, sekaligus menjadi mediator dan fasilitator sangat penting.
Berharap kepada Ale, Jeje, Bonge, Kurma dan Roy mungkin sangat sulit, karena terkendala pada sisi manajerial, finansial, dan lain-lain.
Pemerintah kota DKI Jakarta dan/atau bekerja sama dengan pihak swasta bisa mengambil insiatif.
Misalnya dengan menyediakan opsi lokasi gelaran di fasilitas milik pemerintah atau lokasi lain milik swasta yang disepakati.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka CFW hanya menjadi fenomena sesaat yang pada akhirnya akan hilang ditelan sejarah.
Padahal secara substantif, CFW bisa menjadi “budaya sandingan”, dan bahkan bisa menjadi gelaran yang pilih-sanding di selasar nasional, bahkan di jagad semesta. Seperti halnya Harajuku Fashion Street (HFS) dan La Sape.
Ikhtiar dari sejumlah brand lokal menggaet para personel dan ikon CFW untuk tampil di acara fashion show di sebuah mal, dan mungkin nantinya akan diikuti oleh brand atau label lain, patut diapresiasi.
Tetapi, mereka masih cukup rentan untuk “dieksploitasi”, karena mereka bukan subjek melainkan objek gelaran.
Mereka tidak bisa sepenuhnya menampilkan gaya, dan mode busana yang selama ini menjadi kekhasan atau trademark CFW.
Mereka hanya meragakan gaya, dan mode busana milik brand yang menggunakan jasanya. Apalagi, mereka belum memiliki manajemen, dan juga tidak memiliki HaKI atas “fashion show” yang mereka lakukan untuk diklaim sebagai hak moral dan hak ekonomi mereka.
Jika harus memilih, CFW sebaiknya (bahkan harus) di-HaKI-kan oleh Ale, Jeje, Bonge, Kurma, dan Roy; atau oleh manajemennya (jika ada), atau pihak lain yang menjadi Kuasanya.
HaKI bukan hanya persoalan hak ekonomi, tetapi lebih pada perlindungan hak moral atas setiap hasil karya cipta intelektual seseorang/sekelompok orang/komunal yang menjadi miliknya, baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.