Ternyata, empat serangkai yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara juga menanamkan semangat kemerdekaan Indonesia saat mengajar.
Putera yang dipimpin oleh para tokoh nasionalis membuat organisasi ini jauh lebih menguntungkan pihak pribumi.
Sementara itu, kepentingan Jepang tidak bisa sepenuhnya terpenuhi. Sehingga, Putera dibubarkan oleh Jepang pada 1944 dan digantikan dengan Jawa Hokokai.
Dibentuk pada 8 Januari 1944, Jawa Hokokai merupakan organisasi resmi yang berada langsung di bawah pengawasan pejabat Jepang.
Dipimpin Jenderal Kumakici Harada, tujuannya adalah untuk penghimpunan tenaga rakyat, baik secara lahir ataupun batin sesuai dengan hokosishin (semangat kebaktian rakyat Jawa).
Namun, Jawa Hokokai hanya berkembang di Pulau Jawa saja. Sehingga sulit dibentuk di pulau lain, seperti di Sumatera misalnya karena banyaknya perbedaan yang ada, mulai dari suku, bahasa, dan adat istiadat.
Pada 1945, Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya.
Alhasil, Jepang harus segera mencari cara untuk bisa mendapat dukungan dari rakyat Indonesia dalam menghadapi peperangan.
Setelah kabar takluknya Jepang tersiar, para pemuda Menteng 31 sosok Revolusioner Kemerdekaan langsung bergerak.
Tepat 15 Agustus 1945 malam, mereka berhimpun di salah satu ruangan Lembaga Bacteriologi di Pegangsaan Timur 17, Jakarta (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia).
Pertemuan dipimpin oleh Khairul Saleh yang merupakan Wakil Ketua Asrama Angkatan Baru Indonesia.
Pokok pertemuan waktu itu: Indonesia mesti mengumumkan segera kemerdekaannya.
Sadar bahwa Soekarno dan Mohammad Hatta memegang kunci untuk menyatakan kemerdekaan, 2 pemuda yakni Wikana dan Darwis diutus untuk menemui keduanya.
Esok dini harinya, Soekarno dan Hatta “diculik” ke Rengasdengklok oleh pemuda-pemuda jebolan Gedung Menteng 31.
Diskusi alot antara para pemuda dengan Soekarno - Hatta akhirnya melahirkan proklamasi kemerdekaan Indonesia sehari berselang peristiwa “penculikan”.
Sejak tahun 1972, Gedung Joang 45 ditetapkan menjadi gedung bersejarah atau cagar budaya.
Barulah pada 19 Agustus 1974, Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menjadikan bangunan bersejarah itu sebagai museum.
Gedung yang sebelumnya difungsikan sebagai hotel elit itu kini hanya menyisakan beberapa bangunan kamar penginapan.
Adapun yang tersisa saat ini tinggal beberapa yang ada di sisi utara gedung utama.
Kini, sisa ruangan kamar tersebut dipergunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang kreativitas anak (children room), dan kantor Wirawati Catur Panca.
Tidak banyak koleksi atau bangunan yang berubah hingga sekarang.
Karena merupakan cagar budaya, Gedung Juang 45 sengaja mempertahankan keasliannya agar tetap bertahan seperti semula.