"Maka dari itu pedasnya dikurangin, jadinya itulah salah satu alasan kami bisa bertahan," tutur dia.
Marjuki menuturkan, ayam goreng menjadi makanan favorit di gerainya, selain sambal pete.
"Kami enggak pernah punya cabang. Satu tempat saja," kata Marjuki.
Selama lebih dari setengah abad, RM Pondok Djaja melewati berbagai krisis, yang paling terbaru adalah pandemi Covid-19.
"Awal-awal Covid-19 itu kami mulai merasa ya. Enggak boleh makan di tempat, orang-orang takut keluar rumah," tutur Marjuki.
Marjuki mengatakan, omzetnya menurun sekitar 30-40 persen akibat pandemi.
Namun, hal terpenting menurut Marjuki, RM Pondok Djaja tidak pernah mengurangi karyawan selama masa krisis itu.
"Itu yang penting kami bisa bertahan, dan karyawan enggak ada yang kami kurangin. Menurun (omzetnya) sudah pasti lah," ujar Marjuki.
Sebelum pandemi, masakan disajikan dalam banyak menu seperti masakan padang pada umumnya. Namun, usai pandemi, penyajiannya tergantung pesanan dari pembeli.
Krisis lain yang diingat Marjuki terjadi pada 1998. Selama beberapa hari, kala kerusuhan mencapai titik puncak, gerainya sempat tutup.
"Peristiwa 1998 kami masih di Hayam Wuruk, sudah pasti kami enggak buka. Kami juga kan takut," kata dia.
Dan yang terpenting, selama ini, RM Pondok Djaja tak pernah bekerja sama dengan aplikasi online atau daring. Sebab, kerja sama itu dikhawatirkan akan mengubah harga maupun porsi makanan.
"Alasan kami enggak kerja sama biar asli. Nanti porsinya dikurangin atau harganya ditambah kalau kerja sama. Biar pembeli datang ke sini saja," kata Marjuki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.