JAKARTA, KOMPAS.com - Sebuah rumah makan bersahaja berdiri di Jalan KH Hasyim Ashari, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Ketika masuk, calon pembeli langsung disuguhi sejumlah lauk di meja kasir. Ada rendang, sayur daun pepaya dan nangka, hingga telur balado.
Di sebelah kanan, di balik etalase, lauk yang tersaji lebih lengkap. Tidak banyak meja atau kursi di rumah makan itu.
Namun, siapa sangka, tempat usaha itu merupakan salah satu rumah makan Padang tertua di Jakarta. Namanya RM Pondok Djaja, yang berdiri lebih dari setengah abad di Ibu Kota.
Marjuki (60), generasi kedua dari pemilik RM Pondok Djaja, mengatakan bahwa orangtuanya mulai membuka warung itu pada 1969.
RM Pondok Djaja pertama kali didirikan di Jalan Krekot Bunder, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
"Itu kami mulai merintis, dari transportasinya pakai becak, bemo, sampai sekarang sudah modern," kata Marjuki di lokasi, Rabu (7/9/2022).
Baca juga: Menyelisik Warteg Legendaris Warmo di Tebet, Langganan Para Artis hingga Pejabat
Lima tahun kemudian, gerai berpindah ke Jalan Hayam Wuruk, Gambir, Jakarta Pusat.
"Di Hayam Wuruk sekitar 30 tahun. Setelah itu baru pindah ke Jalan KH Wahid Hasyim. Di sini hampir lebih kurang 10 tahun ya," ujar Marjuki.
Selama lebih dari setengah abad, RM Pondok Djaja hanya memiliki satu koki atau peracik makanan, yakni istri dari Sjoffian, pemilik pertama dari gerai tersebut.
Marjuki mengungkapkan kiat-kiat RM Pondok Djaja tetap bertahan di tengah gempuran produk serupa atau makanan yang lebih bervariatif.
Bagi Marjuki, rasa makanan menjadi kunci gerainya bisa bertahan hingga saat ini.
"Kami bertahan dengan mempertahankan mutu dan produk," kata Marjuki.
Baca juga: Kisah Warga Perumahan Elite yang Tergusur Setelah Tinggal 28 Tahun
Ia menambahkan, masakan di gerainya juga harus menyesuaikan lidah masyarakat setempat.
"Masakan Padang kan ciri khasnya pedas ya, justru kami bisa menyesuaikan dengan selera orang pulau Jawa yang kebanyakan enggak suka makan pedas," ujar Marjuki.
"Maka dari itu pedasnya dikurangin, jadinya itulah salah satu alasan kami bisa bertahan," tutur dia.
Marjuki menuturkan, ayam goreng menjadi makanan favorit di gerainya, selain sambal pete.
"Kami enggak pernah punya cabang. Satu tempat saja," kata Marjuki.
Selama lebih dari setengah abad, RM Pondok Djaja melewati berbagai krisis, yang paling terbaru adalah pandemi Covid-19.
"Awal-awal Covid-19 itu kami mulai merasa ya. Enggak boleh makan di tempat, orang-orang takut keluar rumah," tutur Marjuki.
Marjuki mengatakan, omzetnya menurun sekitar 30-40 persen akibat pandemi.
Namun, hal terpenting menurut Marjuki, RM Pondok Djaja tidak pernah mengurangi karyawan selama masa krisis itu.
"Itu yang penting kami bisa bertahan, dan karyawan enggak ada yang kami kurangin. Menurun (omzetnya) sudah pasti lah," ujar Marjuki.
Sebelum pandemi, masakan disajikan dalam banyak menu seperti masakan padang pada umumnya. Namun, usai pandemi, penyajiannya tergantung pesanan dari pembeli.
Krisis lain yang diingat Marjuki terjadi pada 1998. Selama beberapa hari, kala kerusuhan mencapai titik puncak, gerainya sempat tutup.
"Peristiwa 1998 kami masih di Hayam Wuruk, sudah pasti kami enggak buka. Kami juga kan takut," kata dia.
Dan yang terpenting, selama ini, RM Pondok Djaja tak pernah bekerja sama dengan aplikasi online atau daring. Sebab, kerja sama itu dikhawatirkan akan mengubah harga maupun porsi makanan.
"Alasan kami enggak kerja sama biar asli. Nanti porsinya dikurangin atau harganya ditambah kalau kerja sama. Biar pembeli datang ke sini saja," kata Marjuki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.