"Karena dengan demikian kebetulan kami sebagai pimpinan dari BKR, kami merasa terpanggil untuk berada di lapangan pada waktu itu," kata Moeffreni dalam wawancara tahun 1984 yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Tentara Jepang awalnya melarang pemuda menggelar Rapat Raksasa di Lapangan Ikada. Pada 17 September malam hingga tanggal 18 September, mobil-mobil, tank panser wagon, mobil panser dari tentara Jepang mengumumkan pelarangan acara Rapat Raksasa di Lapangan Ikada.
Rakyat dari berbagai wilayah Jakarta dan sekitarnya, Penjaringan, Tanjung Priok, Mangga Besar, Senen, Tanah Abang, Jatinegara, Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Banten datang berduyun-duyun.
Rakyat membawa poster-poster dan bendera Merah Putih. Sebagian besar datang dengan kereta api dan berhenti di Stasiun KA Gambir karena waktu itu satu-satunya alat transportasi yang murah meriah dan langsung menuju Lapangan Ikada adalah kereta api.
"Dari pihak Jepang itu, mereka mengadakan usaha-usaha sebetulnya menahan jangan sampai rakyat itu bisa masuk ke dalam lapangan itu (Lapangan Ikada). Tetapi, tekanan-tekanan dari rakyat ini, rakyat mulai mendekat," kata Moeffreni.
Rakyat mendekati tank-tank milik Jepang. Waktu itu suasana betul-betul tegang dan mencekam. Namun, rakyat sedikit pun tak gentar meski dijaga oleh tentara-tentara Jepang.
Bendera Merah Putih dan spanduk-spanduk bertuliskan kalimat perjuangan pun menghiasi lautan manusia.
Pada 19 September 1945 sore, Soekarno dengan tenang dan mantap mengucapkan pidato sekitar tiga menit.
Saat itu, ia berpidato di hadapan ratusan ribu warga.
Rapat raksasa Ikada bagaikan sumber tenaga listrik yang mengalirkan semangat juang ke seluruh pelosok Tanah Air Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.