JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu upaya untuk menangani banjir di DKI Jakarta adalah lewat program naturalisasi atau normalisasi sungai.
Namun, program ini diakui oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria belum optimal selama lima tahun terakhir karena sulitnya pembebasan lahan di bantaran sungai.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menilai ada banyak faktor yang jadi hambatan, salah satunya masyarakat yang enggan direlokasi dari bantaran sungai.
Baca juga: Normalisasi Sungai Mandek, Wagub Riza: Banyak Masalah Pembebasan Lahan
Menengok ke era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Yayat menilai memang pembebasan lahan bisa berjalan. Namun, hal itu berimplikasi pada konflik sosial di masyarakat.
"Sebaiknya memadukan dengan komunikasi dengan semua unsur masyarakat, lalu meminta dukungan ke pemerintah pusat," kata Yayat kepada Kompas.com, dikutip Senin (17/10/2022).
Menurut Yayat, hal ini sebetulnya bisa dikompromikan bersama warga setempat. Selain itu, juga perlu koordinasi dan kerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Sebetulnya, Kementerian PUPR sudah punya rencana sejak lama. Namun, karena kebijakan yang diambil oleh Pemprov DKI berbeda dan tidak mau mengambil risiko konflik sosial," tutur Yayat.
Jika ada penolakan, Yayat berujar perlu ada dialog dengan warga setempat meskipun hal itu dilakukan berkali-kali. Cara pendekatannya, kata Yayat, bisa dengan membentuk satuan tugas koordinasi yang kuat dengan seluruh unsur yang ada.
Baca juga: Ingin Bahas Polemik Banjir Kiriman, Heru Budi Hartono Akan Temui Menteri PUPR
"Memang perlu ada pendekatan dialog yang panjang, sehingga persoalan bisa diatasi. Mereka juga perlu diberikan penjelasan kerugian apabila mereka terus tinggal di tempat bajir," kata dia.
Selain itu, Yayat mengatakan masyarakat juga perlu diberikan edukasi bahwa program Pemprov DKI ini merupakan bagian dari upaya untuk menyelamatkan Jakarta.
Selain itu dalam konteks untuk menyelamatkan Jakarta itu, kata Yayat, seharusnya apa yang sudah dilakukan dilanjutkan dengan berbasis masterplan.
Sayangnya, kata Yayat, penanganan banjir saat ini masih mengacu pada masterplan tahun 1973 yang dinilai sudah usang dan tidak relvan dengan kondisi terkini.
"Yang mana kondisi saat ini tingkat curah hujannya semakin ekstrem, namun penanganan yang belum ekstrem," tutur Yayat.
Baca juga: Strategi Heru Budi Atasi Banjir Jakarta, Revitalisasi Saluran hingga Bangun Sodetan
Sebelumnya, Riza mengakui belum maksimalnya program untuk mengatasi banjir itu disebabkan karena sulitnya pembebasan lahan di bantaran sungai.
Ia menjelaskan, program naturalisasi atau normalisasi sungai merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah Provinsi DKI dengan Pemerintah Pusat.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kebagian tugas menyiapkan lahan untuk melebarkan sungai.
Sementara, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyiapkan satuan pelaksana (satpel) normalisasi.
Menurut Riza, Pemprov DKI menemui sejumlah hambatan saat pembebasan lahan seperti sengketa, konflik, dan lainnya. Karena ada hambatan itu, ia mengaku bahwa jajarannya berhati-hati saat membebaskan lahan.
Di sisi lain, Kementerian PUPR tak bisa menggarap normalisasi secara terpotong.
Baca juga: Luasan Banjir Jakarta Berkurang, Pengamat: Ada Andil Gubernur Terdahulu
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.