UI sendiri memiliki Masjid Jami’ Ukhuwah Islamiyah yang mampu menampung jumlah jamaah yang besar, termasuk saat pelaksanaan ibadah Shalat Jumat, dan terbuka untuk warga sekitar Margonda.
Andai saja Idris mau mendalami lagi mengenai “kebajikan” tentu kasus rencana penggusuran SDN Pondok Cina 1 tidak mengundang keprihatinan, bahkan membuat Pemerintah Pusat seperti Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPPA, Kementerian PUPR, Kemendikbud Ristek, Ombudsman RI, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak, partai-partai politik, LSM, dan penggiat kemanusian untuk “turun tangan”.
Depok memang bukan kota yang ramah terhadap anak. Kekerasan psikis dan trauma yang dialami siswa-siswa serta kegelisahan orangtua siswa SDN Pondok Cina 1 terhadap kelanjutan pendidikan anak tidak menjadi pertimbangan utama dari “kebajikan” seorang kepala daerah yang ingin merelokasi sekolah tanpa kajian yang komprehensif.
Jauh sebelum kisruh rencana penggusuran SDN Pondok Cina 1, Idris telah melayangkan rencana Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Kota Religius yang sebelumnya telah disahkan dalam rapat paripurna DPRD Depok kepada Kementerian Dalam Negeri.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tidak mendukung langkah Idris (Kompas.com, 30/09/2022).
Kementerian Dalam Negeri dianggap Wali Kota Idris menolak Perda itu karena mengandung kata “religius” dan dianggap masuh ranah agama.
Idris menyesalkan pihak Kementerian Dalam Negeri tidak melihat substansi di dalam Perda itu. Idris menjamin dalam Perda tersebut tidak diatur soal pemakaian hijab ataupun mengatur peribadatan umat beragama. Perda tersebut dilahirkan semata-mata untuk mengatur kerukunan umat beragama.
Sekali lagi, jika azas “kebajikan” ingin diterapkan Depok melalui Perda Penyelenggaraan Kota Religius, tentunya Perda tersebut tidak menimbulkan multitafsir karena Perda masih dalam bentuk naskah singkat atau executive summary.
Kekhawatiran Perda tersebut mencampuri urusan privat warganya, mengulik urusan agama, definisi perbuatan tercela, praktik riba sampai aliran sesat dan perbuatan syirik bisa saja menjadi domain Perda itu.
Penolakan Kementerian Dalam Negeri dan tidak adanya dukungan dari Gubernur Jawa Barat, tentu tidak dikeluarkan dari pertimbangan yang “asal”. Pastinya juga melalui review legislasi dengan peraturan perundangan yang ada di tingkatan atasnya Perda seperti peraturan pemerintah atau undang-undang.
Bukan Depok namanya jika tidak ada yang “ngadi-ngadi” dari kebijakan kota yang saya huni sejak tahun 1985 silam hingga sekarang ini.
Belum reda dari Perda Religius, Depok juga punya kebijakan unik tentang pohon yang diberi barcode. Wali Kota Idris menyebut pemasangan pohon ber-barcode bertujuan untuk mengedukasi warga dalam pengenalan jenis dan manfaat pohon (Kompas.com, 08/12/2022).
Tidak main-main, Idris berencana memasang barcode di semua pohon yang ada di Kota Depok. Dari 1.500 pohon yang telah dipasang barcode saat ini, berlokasi di sepanjang Jalan Raya Margonda dan Jalan Ir Juanda.
Untuk anggaran pembarcode-an 1.500 pohon itu, Pemerintah Depok menggelontorkan dana sebesar Rp 48 juta. Entah butuh berapa besar dana, jika semua pohon yang tumbuh di Depok seperti target Idris ingin dipasang barcode.
Saya yang kerap melintas Jalan Raya Margonda dan Jalan Ir Juanda, begitu yakin tidak ada warga yang “serius” ingin memindai barcode yang ada di pohon. Apalagi pohon yang dipasang barcode, ada yang tumbuh di tengah median jalan.
Menyeberang Jalan Raya Margonda yang minim jembatan penyeberangan saja sudah penuh “perjuangan” dan “doa”, apalagi dengan urusan memindai barcode hanya untuk ingin tahu nama ilmiah, jenis pohon, kemampuan mereduksi karbon, memproduksi oksigen berapa banyak, tinggi pohon, umur pohon bahkan manfaat sebuah pohon.
Akan lebih tepat, jika dana untuk pemasangan barcode dialihkan untuk program reboisasi dan penanaman bibit pohon baru di daerah-daerah penyangga Depok yang selama ini “lenyap” dialihfungsikan untuk pembangunan perumahan dan apartemen.
Pemerintah Kota Depok selama ini dikenal masif dalam mengeluarkan izin pendirian perumahan, bahkan kluster-kluster perumahan mini tanpa daya dukung fasilitas sosial dan umum yang memadai.
Sekali lagi, kita kerap melalaikan kebajikan dalam banyak hal termasuk yang terjadi di Depok sejak beberapa dekade terkahir ini. Saya hanya ingin menyitir kebajikan dalam berbagai versi keyakinan dan universal agar kiranya kita bisa memaknai kebajikan dalam berbagai aspek.
Al-Birr mengandung makna kebajikan atau berbuat baik. Berbuat baik diusahakan sebanyak mungkin dan sebaik mungkin.