“Berbicara dengan baik dan fasih adalah seni yang sangat hebat, tetapi yang sama hebatnya adalah mengetahui saat yang tepat untuk berhenti bicara” – Wolfgang Amadeus Mozart (1756 – 1791).
ANDAIKAN saja Wali Kota Depok Mohammad Idris mau menikmati alunan musik klasik selain irama gambus, minimal pahamlah dengan pernyataan komponis kelahiran Austria itu.
Persoalan karut marut penggusuran Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pondok Cina 1, di Jalan Margonda Depok tentu tidak menyita perhatian publik dan hanya membuat gaduh saja.
Lontaran demi lontaran kebijakan publik yang dikeluarkan Wali Kota Idris memang menggugat rasa “kebajikan” dari seorang pemimpin.
Jauh sebelumnya, Depok begitu getol menggegolkan peraturan daerah penyelenggaraan kota relegius, namun akhirnya kandas di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Belum lagi, kebijakan pohon “berbarcode” yang terkesan kebijakan asal “njeplak” dan memalukan serta membuang-buang dana publik saja.
Bermula di Agustus lalu, Idris mulai lantang berbicara ke publik akan membangun masjid raya di Kawasan Margonda berdasar banyaknya permintaan warga yang kesulitan mencari tempat ibadah terutama saat pelaksanaa shalat Jumat.
Permintaan itu disampaikan Idris ke Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersedia membantu pendanaan asalkan pihak Pemerintah Kota Depok harus lebih dulu mempersiapkan lahan pengganti dan mengatasi segala persoalannya.
Pernyataan penegasan Ridwan Kamil itu muncul usai Idris “lempar” tudingan kalau Gubernur Jawa Barat “merestui” penggusuran SDN Pondok Cina 1 pascapublik dan media meramaikan kasus tersebut.
Bisa jadi, memang Idris “sangat paham” atau malah “tidak paham” sama sekali dengan proses ruislag atau asset swap. Dalam bahasa mudahnya, tukar guling.
Artinya, jika lokasi SDN Pondok Cina 1 ingin digusur, tentu harus disediakan lahan pengganti yang memiliki nilai sama.
Harap diketahui, harga tanah per meter persegi di kawasan premium Margonda, Depok– seperti SDN Pondok Cina 1 – sudah berharga fantastis.
Idris berkilah proses penggusuran SDN Pondok Cina 1 tidak mengganggu proses belajar mengajar siswa mengingat dua sekolah masing-masing SDN Pondok Cina 3 dan 5 sudah siap menampung siswa korban penggusuran.
Bahkan Idris mengklaim, rencana penggusuran SDN Pondok Cina 1 sudah melewati kajian lingkungan dan lalu lintas (Suara.com, 15 Desember 2022).
Hanya saja, Idris tidak menggunakan kajian sosial tentang dampak penggusuran SDN Pondok Cina 1. Betapa siswa dan orangtua siswa sangat dirugikan akibat proses pengalihan pembelajaran siswa ke sekolah lain.
Belum lagi, kelas-kelas sekolah pengganti sudah digunakan dan kalaupun dipaksakan siswa SDN Pondok Cina 1 baru bisa menggunakan kelas untuk belajar pada siang hari saja.
Kalau alasan pendirian masjid raya dikaitkan dengan “kurangnya” jumlah tempat ibadah, sebaiknya Wali Kota Depok bisa meminta anak buahnya di kelurahan tempat SDN Pondok Cina 1 bercokol untuk menghitung jumlah masjid yang ada di sekitaran SDN Pondok Cina 1.
Menurut penuturan orangtua siswa-siswi SDN Pondok Cina 1, ada sekitar 10 masjid di sekitaran areal SDN Pondok Cina 1.
Saya yang berkuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (MIPA UI) mulai tahun 1986, Kawasan Pondok Cina dan SDN Pondok Cina 1 bukan tempat yang asing.
Sejak Kampus UI mulai pindah ke Kawasan Depok tahun 1987 dari Salemba dan Rawamangun, Jakarta, Pondok Cina adalah tempat mahasiswa turun dari kendaraan umum untuk menuju Fakultas MIPA dan Kesehatan Masyarakat.