Maka pekerjaan kita (dalam konteks pembangunan sosial) bukan hanya menyediakan moda transportasi yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lain, namun menyediakan kenyamanan yang membangun produktivitas kerja, serta interaksi sosial yang menghadirkan kenyamanan sosiologis.
Kesehatan mental adalah satu terminologi yang memiliki multi definisi. The Surgeon General’s (2000) dalam (Kumara, 2012) memberikan batasan kesehatan mental sebagai berikut: ”mental health as the successful performance of mental functioning resulting in productive activities, fulfilling relationships with other people and the ability to adapt to change and cope with diversity”.
Maka ini adalah situasi di mana kondisi mental berfungsi dengan baik, mampu melakukan produktivitas dengan baik, membangun relasi sosial yang harmonis dan sebagainya.
Salah satu pengertian dari kesehatan mental (Zakiah Daradjat, dalam (Mulyadi, 2017)) adalah terhindarnya orang dari gelaja-gejala gangguan jiwa (neurose) dan gejala penyakit jiwa (psychose).
Jadi ini adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
Jelas, tentu tidak mudah menyelaraskan pembangunan fisik, dengan pembangunan sosial yang pada gilirannya memengaruhi kondisi kesehatan mental individu.
Namun demikian, diperlukan perhatian rutin terkait kondisi kesehatan mental warga negara. Apakah dalam kondisi normal, ataupun justru dalam kondisi yang mengarah pada gangguan jiwa (neurose) atau penyakit jiwa (psychose).
Ragam situasi dan dinamika kehidupan keseharian warga negara perlu selalu diperiksa, apakah tetap pada koridor yang menuju pada mental yang sehat ataupun malah sebaliknya.
Ragam unggahan di media sosial, baik yang bernada bercanda (meme) sampai bernuansa curhat (stress release) terkait kepadatan luar biasa di Stasiun Manggarai tentu jangan didiamkan begitu saja.
Ini harus dianggap sebagai sinyal peringatan awal (early warning) untuk segera dilakukan penyempurnaan layanan. Jangan menunggu sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama.
Kondisi psikologis pekerja kantoran secara umum tidak ingin terlambat dan memulai bekerja dengan perasaan positif, vibes yang antusias dan terhindar dari berbagai rasa takut dan cemas.
Namun demikian, dalam perjalanan ke kantor, ternyata mereka harus ’menyesuaikan’ dan beradaptasi dengan rute perjalanan (baru), berjuang berdesakan dalam lautan manusia menuju moda yang mengatar ke tujuan, serta (memastikan diri) tidak terlambat memasuki moda selanjutnya.
Kecemasan yang berlebih (anxiety) akan tertinggal moda, ketakutan mendapatkan surat peringatan jika terlambat, tentu dapat memengaruhi ’mood’ bekerja, serta keyakinan diri akan kemampuan dalam menangani tantangan pekerjaan sehari-hari (self eficacy).
Apalagi jika rute-rute favorit begitu cepat padat, sehingga harus menunggu (kembali) bermenit-menit untuk giliran transportasi selanjutnya.
Tentu tidak ada kata terlambat. Pembangunan adalah proses yang panjang. Masih terbuka banyak peluang untuk perbaikan dan penyempurnaan.
Terbuka kesempatan untuk menjadi stasiun terpadu sebagai tempat yang produktif (connecting hub & co working space).
Masih terbuka kesempatan untuk menjadi stasiun terpadu Manggarai sebagai lokasi relaksasi hati (healing venue).
Masih terbuka peluang untuk membangun humanisasi terminal dan stasiun, sehingga seluruh penumpang dalam perjalanan berangkat ataupun pulang dapat memanfaatkan momentum perjalanan sebagai ’charger’ menuju tempat kerja ataupun menuju ke rumah.
Bukan hanya itu, dengan penataan yang semakin baik, aktivitas berangkat dan pulang kerja dapat menjadi stimulus baik dalam meningkatkan kualitas kesehatan mental warga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.