Secara tidak langsung, pemenuhan keadilan restoratif dalam bentuk diversi dalam kasus ini tidak diperoleh oleh AGH sebab “hak” tersebut ditolak oleh pihak korban.
Negara dalam hal ini sudah menjalankan kewajibannya untuk menjunjung tinggi hak anak. Secara formil, negara yang diwakilkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjalankan kewajibannya dengan baik.
Meski demikian, idealisme keadilan restoratif dalam kasus penganiayaan CDO dapat dinyatakan tidak terwujud dalam realita saat ini. Pemenuhan keadilan restoratif dalam hal ini menjadi sangat rancu karena banyaknya pihak yang terlibat.
UU No. 11 Th. 2012 hanya dapat mengikat, atau di-“wajib”-kan, institusi-institusi negara yang terlibat untuk memenuhi idealisme tersebut.
Sedangkan keadilan restoratif bagi pelaku maupun korban dapat dikatakan sebagai “hak” dari masing-masing pihak karena diperlukan persetujuan dari kedua belah pihak untuk melaksanakan diversi dan mewujudkan keadilan restoratif.
Dalam kasus ini, CDO dan keluarga memilih untuk menolak proses keadilan restoratif karena besarnya penderitaan yang dialami oleh korban, baik secara psikis maupun psikologis.
Korban memilih untuk menolak keadilan restoratif dan diversi karena menilai bahwa persidangan merupakan satu-satunya jalan bagi korban untuk memperoleh keadilan yang telah dirampas oleh pelaku.
Dengan kata lain, keadilan restoratif sebagai sebuah alternatif dalam menyelesaikan tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak tidak dapat terwujud dalam kasus penganiayaan berat terencana di atas.
Diperlukan keterlibatan secara aktif dari pelaku, korban, dan masyarakat untuk mewujudkan keadilan restoratif. Negara yang diwakilkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diwajibkan untuk melakukan upaya diversi.
Meski demikian, pelaku maupun korban memiliki hak untuk menolak dan tidak menyetujui upaya tersebut karena sifatnya adalah pilihan bebas.
Jika keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan alternatif yang diwajibkan untuk menyelesaikan tindakan kriminal dengan pelaku dan/atau korban berusia di bawah 18 tahun, mengapa hal ini tidak dapat terwujud dalam kasus pengaiayaan berat terencana yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo, Shane Lukas, dan AGH?
Jawabannya adalah rasa dendam dan penolakan untuk damai yang dirasakan oleh CDO dan keluarga selaku korban dari penganiayaan tersebut. Hal ini memunculkan pola pikir berupa tidak ada kata damai bagi pelaku dan keadilan harus diperoleh melalui persidangan.
Idiom pada awal tulisan akhirnya menjadi jelas, bahwa “mata dibalas mata, dan gigi dibalas gigi” dapat diartikan menjadi: pertama penyiksaan fisik dibalas penyiksaan di penjara.
Kedua, kehancuran masa depan dibalas kehancuran masa depan, berupa cedera fatal dan pembengkakan otak yang dialami korban dibalas dengan hancurnya nama baik pelaku dan keluarganya di masyarakat.
Pola pikir tersebut sah-sah saja dimiliki oleh korban, namun keadilan restoratif di sisi lain juga wajib untuk diupayakan karena pelaku maupun korban merupakan anak di bawah umur.
Saya rasa paradoks ini akan menjadi masalah yang akan selalu ada karena setiap orang memiliki penderitaan dan ego yang berbeda-beda.
Tidak ada pihak yang bisa dipaksa untuk melakukan damai karena hal ini sangat bergantung pada persetujuan dan persepsi keadilan bagi masing-masing pihak yang terlibat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.