Keadaan tersebut menimbulkan rasa pemenuhan kebutuhan pelaku terhadap dominasi dan kekuasaan dirinya yang lebih kuat daripada korban.
Pikiran sumbu pendek yang diperkuat oleh adrenalin ini berdampak pada perlukaan fisik dan mental yang sangat berat bagi korban dan keluarga korban.
Sedangkan pelaku saat ini pada akhirnya berhadapan dengan hukum untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
Tindakan penyimpangan yang berujung pada perilaku kejahatan ini sering kali terjadi di dalam masyarakat.
Diperlukan penanganan yang tepat dalam menyelesaikan kasus penganiayaan ini, yaitu dari tahap penyidikan hingga termasuk dalam ranah peradilan pidana.
Meski demikian, terdapat sistem peradilan pidana yang berbeda jika pelaku dan/atau korban merupakan anak di bawah umur.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menerangkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum merupakan anak yang telah berumur 12 tahun akan tetapi belum genap berumur 18 tahun saat dirinya diduga melakukan tindak pidana.
Sedangkan Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana dinyatakan sebagai anak yang belum berusia 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Secara otomatis, AGH yang masih berusia 15 tahun digolongkan sebagai Anak yang berkonflik dengan Hukum dan pengadilannya tentu harus mengikuti Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-undang tersebut juga wajib diaplikasikan dalam menyelesaikan kasus penganiayaan berencana ini sebab korban, yaitu CDO, masih berusia 17 tahun saat tindak pidana ini terjadi.
Salah satu poin yang paling penting dalam UU No. 11 Th. 2012 tertera dalam Pasal 5 ayat (1) yang tertulis, “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”.
Proses peradilan pidana yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri dalam hal ini diwajibkan untuk mengupayakan Diversi, seperti yang tercantum pada Pasal 7 ayat (1).
Upaya diversi dan keadilan restoratif bagi AGH pada kenyataannya telah diagendakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Meski demikian, hal ini tidak dapat terlaksana karena adanya penolakan dari keluarga CDO selaku anak korban. Penolakan tersebut didasarkan pada kemarahan ayah CDO atas penganiayaan dan penderitaan berat yang dialami oleh anaknya.
Kejadian ini telah menyatakan bahwa keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang dinyatakan melalui diversi pada kenyataannya tidak dapat diaplikasikan pada kasus penganiayaan berencana yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo (20), Shane Lukas (19), dan AGH (15) – terhadap CDO (17) selaku korban.
Oleh sebab itu, persidangan AGH akhirnya dilakukan sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku.
Melalui UU No. 11 Th. 2012, Pasal 7 ayat (1) dan (2), negara telah menetapkan bahwa upaya diversi wajib dilakukan oleh pengadilan negeri dalam menangani kasus kejahatan yang dilakukan dan/atau dialami oleh individu yang berumur di bawah 18 tahun.
Syarat diversi dalam hal tindak pidana anak adalah ancaman penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan tindak pidana yang berulang.
AGH dalam hal ini berhak untuk melakukan diversi dalam rangka penyelesaian masalah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mempersiapkan tim dan pelaku untuk menjalani musyawarah diversi pada 29 Maret 2023.
Meski demikian, agenda diversi dapat dikatakan gagal karena pihak korban menolak diversi dan memilih untuk melanjutkan persidangan.