JAKARTA, KOMPAS.com - Heri Hartanto adalah salah satu dari empat orang korban yang meninggal dunia dalam peristiwa penembakan Trisakti, 12 Mei 1988.
Heri yang merupakan bagian dari demonstran pendukung reformasi mengalami luka tembak pada bagian punggung.
Heri dinyatakan meninggal dunia di tempat setelah timah panas yang diduga berasal dari senapan aparat merubuhkan tubuhnya di tengah massa.
Kompas.com mendatangi kediaman orang tua Almarhum Heri, di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Rabu (17/5/2023).
Ibunda Heri, Lasmiati (64) menyambut baik kedatangan kami.
Baca juga: Tangis Pilu Karsiyah, Ibunda Hendriawan Korban Tragedi Trisakti 1998: Dia Janji Akan Pulang...
Lasmiati yang dulu aktif berbicara di depan media soal menuntut keadilan kematian anaknya, kini sudah terlihat berumur.
Heri merupakan anak laki-laki pertama dan satu-satunya dari keluarga Lasmiati. Sedangkan dua adik Heri adalah perempuan.
Heri berumur 22 tahun saat tragedi itu terjadi. Ia juga sedang berkuliah di Universitas Trisakti semester enam jurusan teknik mesin.
Di sela perbincangan kami di dalam rumahnya, Lasmiati memperlihatkan foto terakhir Heri yang berwarna hitam putih.
Di foto itu, Heri muda berambut ikal dengan alis tebal. Ia bertubuh tegap dan memakai dasi hitam dengan kemeja putih.
Baca juga: Bagaimana Penyelesaian Tragedi Trisakti 12 Mei 1998?
Foto Heri terlihat seperti baru dibingkai dengan warna emas. Sesekali, Lasmiati melihat ke arah foto anaknya yang digantung di dinding rumahnya.
Tak lama, Lasmiati membagikan kisah yang ia dengar saat kejadian berdarah yang menewaskan putra sulungnya itu.
Momen tewasnya Heri
Awalnya, Lasmiati mengetahui jika Heri saat itu sedang melaksanakan ujian semester di Kampus Trisakti.
Setelah ujian itu, kampusnya mengadakan orasi menuntut Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenan.
"Anak saya waktu itu sedang ujian kampus ya, dari pagi. Sampai siang kalau enggak salah. Setelah itu di kampus ada orasi dari rektor Trisakti," ujar Lasmiati.
Heri ikut dalam barisan mahasiswa yang mendengarkan orasi rektor. Waktu saat itu menunjukkan pukul 17.00 WIB.
Dari rekan Heri bernama Aji, Lasmiati mengetahui akan adanya hujan tembakan yang mengarah ke Kampus Trisakti, usai orasi berlangsung.
"Ratusan peluru yang nembak dari arah jalan layang Grogol ke kampus," kenang Lasmiati.
"Nah itu hujan peluru, kebetulan anak saya yang kena dari salah empat orang korban ini sampai meninggal. Anak saya itu meninggal di kampus," terang Lasmiati.
Baca juga: Dampak Tragedi Trisakti
Posisi Heri waktu hujan peluru itu berada di bawah tiang bendera.
Ada sebuah peristiwa yang menyesakkan dada. Aji mengaku, sempat mengajak pulang Heri di penghujung acara orasi. Tetapi, Heri menolak.
"'Her ayo kita pulang', kata Aji. Lalu Heri menjawab 'entar dulu entar dulu'. Setelah itu Heri tewas tertembak," ujar Lasmiati.
Masih bersumber dari keterangan Aji, Heri sempat mengatakan, "kaki saya enggak bisa digerakkan ya".
Rupanya, Heri telah tertembak di bagian punggung. Beberapa detik kemudian, Heri jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri.
"Pelurunya tembus dari punggung kanan ke bagian dada," ucap Lasmiati.
Apabila Heri mengikuti ajakan Aji untuk berpindah tempat, mungkin ceritanya akan lain, pikir Lasmiati. Tetapi peristiwa itu sudah dianggap sebagai garis hidup yang harus dijalani.
Lasmiati melanjutkan, keadaan di kampus Trisakti saat itu sangat kacau.
Banyak mahasiswa dan dosen menyelamatkan diri, bahkan ada juga puluhan korban yang kena peluru serta pecahan kaca.
"Ratusan peluru masuk ke Trisakti saat itu. Semua orang saksi yang ada di situ saat kejadian sampai satpam kampus juga ngomong kayak gitu," jelas dia
"Berapa jumlahnya enggak tahu persis ya, tapi banyak. Ada yang kena tangan, ada yang kena kaki, yang masih selamat saat itu ada, cuma yang meninggal empat orang," ucap dia.
Baca juga: Tolak Kenaikan Harga BBM, Mahasiswa Trisakti Berbagi Bensin Gratis ke Pengendara
Entah dapat komando dari mana, semua mahasiswa yang terluka pada saat itu tidak diperbolehkan keluar area kampus.
Padahal, beberapa saat kemudian muncul mobil ambulans dari Rumah Sakit Sumber Waras.
Tetapi, mahasiswa mendengar bahwa laju mobil ambulans dihalau aparat agar tidak bisa masuk kampus.
"Mau dibawa ke RS Sumber Waras, enggak boleh. Semua ditutup di luar pagar dijaga polisi dan tentara, enggak bisa mobil ambulans menyelamatkan korban ke RS," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.