JAKARTA., KOMPAS.com - Beragam cerita datang dari para pejuang nafkah di Ibu Kota.
Adang (65), pedagang gulali asal Garut, harus tinggal bersama 14 orang pedagang gulali lainnya dalam satu rumah kontrakan di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
Adang bercerita, dengan penghasilannya saat ini, yakni sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 per hari, ia menyisihkan Rp 5.000 untuk biaya sewa harian.
"Bapak mah ngontrak di sini, namanya penghasilan nggak nentu. Bayarnya 5.000 sehari asal bisa ngorok aja," kata Adang saat ditemui Kompas.com di pelataran Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat, Kamis (29/6/2023).
Baca juga: Kisah Adang, 40 Tahun Jualan Gulali di Tengah Getirnya Kehidupan Ibu Kota
Teman-teman Adang juga merupakan pedagang gulali yang sama-sama berasal dari Garut.
"Tukang gulali semua sekampung. Yang ngontrak rumah itu satu kampung dengan kita, lakinya (suaminya) sudah meninggal. Kalau di kampung kasihan nggak bisa apa-apa dia, jadi sekarang dia ngurusin kita lah di situ. Masak nasi, bikin kopi. Jadi kita pulang dagang makan di situ, mengopi di situ," kata dia.
Sehari-hari, Adang harus berjalan kaki menempuh jarak berkilometer, dari titik awal Pasar Mester Jatinegara, Jakarta Timur, untuk menjajakan gulalinya.
Sebab, gerobak pikulnya tidak boleh masuk transportasi umum.
Adang bercerita, Kamis lalu, ia berjalan kaki kurang lebih enam kilometer dari Jatinegara menuju Masjid Cut Meutia Jakarta Pusat untuk menjual gulalinya saat momen pemotongan kurban Idul Adha 2023 di masjid itu.
Baca juga: Kenyang Pengalaman Pahit di Jakarta, Perantau Ini Pernah Kebanjiran, Dimaki, dan Diremehkan
Satu gulali dibanderol Rp 5.000. Bentuknya beraneka ragam, ada kupu-kupu, terompet, empeng, ayam, dan harimau pun bisa dia buat.
"Ular naga, barongsai juga bisa. Ya namanya di Jakarta ada musim itu," ujar dia.
Keterampilan ini Adang dapatkan dari sang ayah yang dulunya juga penjual gulali.
"Ini diajarin dari orangtua bapak (saya), kan bapak dibesarkan tukang gulali di Garut," tutur Adang.
Kendati tumbuh besar sebagai pedagang gulali, Adang tetap berharap tidak ada anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai penjual gulali.
"Kalau bisa mah enggak boleh kayak bapaknya. Kalau enggak, ya enggak apa. Namanya nasib emang kejam, tapi kalau bisa jangan sampai kayak bapaknya," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.