JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena anak sekolah menyayat tangan tengah menjadi tren di media sosial TikTok. Hal ini membuat para orangtua murid khawatir.
Fenomena ini pertama kali terungkap ke publik saat 11 siswa sekolah dasar (SD) di Kecamatan Situbondo, Jawa Timur, melukai tangannya sendiri akibat terpengaruh konten Tiktok.
Mereka melukai lengannya menggunakan alat kesehatan (alkes) untuk cek GDA stick yang dijual pedagang di sekitaran sekolah. Hal ini diketahui guru yang melihat tangan siswanya penuh luka goresan di lengan.
Guru sekolah kemudian melapor ke pihak kepala sekolah dan memeriksa seluruh siswa. Mereka kemudian menemukan belasan anak didiknya dengan tangan penuh luka goresan.
Baca juga: Orangtua Murid Minta TikTok Take Down Konten Anak Sekolah Sayat Tangan
Sebagai orangtua, Ade Rusliana (31), juga khawatir atas fenomena ini. Dua anaknya kini tengah duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di kawasan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Dibilang takut, ya takut mereka ikut-ikutan. Apalagi, memang lagi ramai di TikTok dan yang sehari-harinya mereka tonton,” kata Ade kepada Kompas.com, Kamis (5/10/2023).
Saat ditanya apakah dia mengetahui fenomena anak sekolah sayat tangan, Ade tidak menampiknya. Bahkan, dia sudah tidak lagi terkejut.
"Sebenarnya sudah enggak kaget lagi, karena zaman dulu memang sudah ada. Ya bedanya kan sekarang ada media sosial yang disebarkan secara luas tanpa memandang usia,” tutur Ade.
Baca juga: Ada Fenomena Siswa Sayat Tangan, Orangtua Minta Kemenkominfo Blokir Konten Berbau Kekerasan
Sementara itu, salah satu orangtua murid bernama Lusy Tania (31) menganggap tren tersebut merupakan hal yang sangat negatif dan merugikan tumbuh kembang anak.
"Enggak ada bagus-bagusnya dan keren-kerennya buat jadi tren. Terus kan itu ramai di TikTok ya, kalau bisa dari TikTok-nya, kalau ada video-video kayak gitu, harus di-take down sih biar enggak pengaruhi anak," kata Lusy.
Keresahan sebagai orangtua murid juga dirasakan Christina Indah Paramita (38). Anak pertamanya kini tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Tahu, kan itu yang lagi ramai di Situbondo. Ya gara-gara viral gitu, saya khawatir anak saya malah liat konten-konten kayak gitu. Bukannya belajar, tapi mencelakakan diri," ucap Indah.
Baca juga: Ada Tren Sayat Tangan, Perhimpunan Guru Minta Sekolah di Jakarta Batasi Siswa Akses Medsos
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta sekolah, termasuk di DKI Jakarta, untuk membatasi akses siswa terhadap media sosial buntut dari fenomena sayat tangan itu.
"Kami merekomendasikan sekolah perlu membatasi atau melarang, anak anak mengakses media sosial. Saya pikir perlu. Khususnya di jam belajar," ujar Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim saat dihubungi, Sabtu (7/10/2023).
Satriwan mengatakan, pembatasan media sosial untuk meminimalisasi potensi siswa meniru konten negatif yang ada di media sosial.
"Kemudian yang kedua sekolah harus memiliki sistem pendeteksi dini terkait perilaku menyimpang dan potensi kekerasan," kata Satriwan.
Baca juga: Ada Tren Sayat Tangan, Perhimpunan Guru Ingatkan Sekolah di Jakarta Perhatikan Perilaku Siswa
Satriwan sebelumnya menyebut semua dinas pendidikan (Disdik), termasuk DKI Jakarta mendorong guru untuk memperhatikan perilaku anak didik di sekolah.
Satriwan menambahkan, pencegahan juga bisa dilakukan pihak sekolah dengan cara melarang mengakses media sosial, khususnya pada saat jam belajar.
"Berdasarkan masalah itu, kami merekomendasikan pertama rasanya sekolah perlu melarang, anak anak mengakses media sosial. Saya pikir perlu. Khususnya di jam belajar," ucap Satriwan.
Indah memiliki cara tersendiri untuk mencegah konten berbahaya di media sosial terhadap anaknya. Ia dan suaminya bersepakat selalu mengecek handphone anaknya secara berkala.
"Bisanya saya cek handphone anak secara berkala sekaligus cek kegiatan dia," ungkap Indah.
Baca juga: Cara Orangtua Cegah Anaknya Terpengaruh Konten Sayat Tangan, Cek HP Berkala
Berbeda dengan Indah, Lusy Tania (31) justru memilih membatasi pergaulan anaknya yang kini masih duduk di bangku kelas 2 SD.
Lusy juga selalu mengawasi sang anak saat berselancar di media sosial. Lusy tidak ingin masa depan buah hatinya hancur gara-gara terpengaruh konten TikTok.
"Pengawasan aku ke anak ya kasih nasihat biar enggak ikut-ikutan, terus selalu diawasi kalau anak-anak lagi buka TikTok, YouTube, atau yang lainnya. Sama membatasi pergaulannya juga sih," ungkap dia.
Terlepas dari upaya orangtua melindungi anaknya, menurut Indah dan Lusy, pihak sekolah dan pemerintah perlu melakukan pengawasan.
Salah satu harapan Indah adalah Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) segera memblokir konten-konten kekerasan dan SARA.
Pihak TikTok juga diminta men-take down video-video yang sekiranya akan berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak.
(Tim Redaksi : Baharudin Al Farisi, Nursita Sari, Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.