JAKARTA, KOMPAS.com - Bajaj tak lagi eksis sebagai salah satu moda transportasi. Meski begitu, para pengemudinya masih berjuang mencari rupiah di tengah Kota Jakarta.
Mereka masih setia mengetem di Terminal Grogol, perbatasan antara Jakarta Barat dengan Jakarta Pusat. Kurang lebih ada enam bajaj yang terparkir di sana pada Selasa (2/7/2024) siang.
Mereka tampak setia menanti datangnya penumpang yang tak kunjung tampak batang hidungnya.
Di terminal ini memang banyak pilihan transportasi, mulai dari Minibus Transjakarta, JakLingko, sampai dengan bajaj.
Banyaknya pilihan moda transportasi membuat bajaj seolah-olah terpinggirkan.
Baca juga: Perjalanan Johan Jadi Sopir Bajaj yang Viral karena Bisa Berbahasa Inggris
Sudah satu jam berlalu Min (55) menantikan penumpang yang memanggil bajaj yang dikemudikannya. Bahkan rekan seprofesinya sudah siap di dalam bajaj, alih-alih dapat penumpang.
Namun, penumpang yang berlalu-lalang di terminal ini seolah tidak tertarik untuk sekadar melirik arah bajaj. Kondisi seperti ini disebut Min sudah biasa.
"Sekarang susah sekali cari penumpang, dapat Rp 100.000 saja sudah bagus," ucap Min.
Bagi Min, satu kali perjalanan mengantar penumpang sudah cukup untuk menutup uang setoran. Namun, tidak demikian dengan uang untuk kebutuhan rumah tangga.
"Hari ini aja saya hanya dapat Rp 60.000, cukup untuk setoran ke bos saya aja," kata dia.
Menurut Min, keberadaan ojek maupun taksi online cukup berdampak pada pendapatan sopir bajaj.
"Ya itu salah satu kendalanya. Banyaknya ojol dan taksi online," keluh Min.
Baca juga: Ngobrol Bahasa Inggris dengan Turis Asing, Johan: Biar Sopir Bajaj Enggak Dipandang Rendah
Min yang sudah menggeluti profesi ini sejak 1980-an, bercerita bahwa sopir bajaj pernah menikmati manisnya pendapatan mereka ketika kendaraan roda tiga itu masih berkelir oranye.
"Wah dulu sopir bajaj tuh sejahtera. Dapetin sewa penumpang gampang sekali," kata Min.
Namun, kini Min sudah pasrah dengan keadaan. Ia mengeklaim sopir bajaj yang memangkal di terminal juga ikut menerima nasib.
Walaupun tahu menjadi sopir bajaj sudah sulit, Min tetap menjalankan hari-harinya.
Dalam benaknya, Min ingin mengubah nasib dengan mencari pekerjaan lain. Namun, hatinya tetap tidak bisa berbohong. Ia sudah cinta menjadi sopir bajaj selama berpuluh-puluh tahun.
"Saya enggak bisa kerja apa pun. Sopir mobil enggak bisa, ojek online saya enggak mau," ujar dia.
Baca juga: Sulitnya Mengatur Bajaj di Kawasan Monas, Sopir Suka Buang Sampah dan Parkir Sembarangan
Min mengaku hanya bisa menggantungkan cita-cita yang belum tercapai kepada anak bungsu laki-lakinya.
"Saya punya empat anak, anak saya yang terakhir ini baru lulus SMA," kata Min.
Min ingin sekali anak bungsunya itu lanjut ke jenjang pendidikan strata satu. Namun, sang anak memilih untuk bekerja.
"Seandaikan anak saya mau sekolah lagi (kuliah), saya rela jual apa pun. Saya enggak punya apa-apa biarin, tapi anak saya jadi," jelas dia.
Pak Min berulang kali mengingatkan sang anak bahwa zaman sekarang, ijazah SMA tidak laku.
"Saya percaya investasi pendidikan ke anak sangat berguna. Apalagi zaman sekarang," ungkap Min.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.