Ada angan-angan sederhana namun memikat yang sempat meluncur dari mulut Barack Obama, sebelum dia menjadi presiden Amerika Serikat, "Saya membayangkan politik yang dewasa!" Tidak ia tujukan harapan itu pada lawan, melainkan pada dirinya dan tim suksesnya sendiri.
Itu diucapkannya ketika dia sendiri sedang membuka jalan menuju kursi kepresidenan di negara adikuasa, AS. Ketika Obama masih menimbang-nimbang, pantas tidak untuk dia sebagai seorang kulit hitam beradu dengan politisi beda warna kulit dengannya, mengincar sebuah kursi yang sebelumnya diam-diam difatwakan haram ditempati kalangannya.
Sosok yang belakangan memang berhasil menjadi presiden AS per 2009 ini tak menyebut "politik yang dewasa" itu sebagai laga yang takkan tega mencabik-cabiknya atau bahkan mengulitinya.
Alih-alih mencemaskan itu, ia memilih mengarahkan sudut pandang pada kalangan sendiri agar bersikap dewasa dalam melihat lawan.
Kedewasaan itu diterjemahkan Obama sebagai keseimbangan antara idealisme dengan realita, hingga sikap legowo mengakui bahwa pada lawan-lawannya pun mungkin ada banyak hal benar. Artinya, seluruh kebenaran dan hal baik diakui tak hanya ada di pihaknya.
Seketika berkelebat peta Amerika di kepala saya, yang mirip buaya yang ingin menelan mangsa—terutama jika dilihat dari titik garis yang menunjuk ke Florida, Georgia, menuju Philadelphia.
Obama yang notabene “kelas dua” di benak sebagian kalangan yang mengagungkan satu ras di atas ras lainnya—setidaknya beberapa dekade lalu, berpotensi dimamah dan dicabik-cabik taring “buaya” tadi. Syukurlah, sejauh ini tak terjadi.
Tapi sekelebat kemudian peta Negeri Paman Sam itu berubah menjadi Jakarta. Di sini sedang gaduh-gaduhnya cerita tentang pemilihan gubernur yang dibahas di lintasmedia hingga lintaskakilima.
Yang paling mengemuka adalah tentang kepemimpinan yang dikait-kaitkan dengan agama, hingga mantan presiden yang "main poker", yang dengan agak kasar dituding mempertaruhkan anak sendiri.
Di tengah dinamika itu juga, yang kerap bikin saya pribadi merasa masygul adalah saat melihat atribut keagamaan dan berbagai hal berbau agama dijadikan senjata untuk menjatuhkan.
Apalagi, yang membawa-bawa agama sering kali memang mereka yang terbilang paling paham kadar kedewasaan masyarakat di negaranya. Sebab mereka tahu sekali, di sini, agama dapat menjadi alat ampuh untuk menakut-nakuti, misalnya: jangan ini dan tak boleh itu, nanti Tuhan marah.
Nah, saat disebut-sebut Tuhan marah itulah, mereka yang paling paham tadi bekerja. "Jika Anda tak mengikuti kemauan Tuhan, Dia akan menyalakan neraka dan memanggang Anda di sana."
Wanti-wanti itu tadi seketika membangkitkan lamunan khas kanak-kanak. Terbayang seperti apa api kompor di dapur ibunya, dan seperti apa rasa perih jika terjilat api tadi. Apalagi, jika jilatan api itu sama sekali tak kenal jeda.
Lamunan polos begini lantas melahirkan ketakutan, yang sangat potensial dimainkan. "Jadi, yang disuruh pilih oleh Tuhan itu yang ini, sedangkan yang itu dimusuhi Tuhan." Diiyakan dan diamini oleh yang mendengarnya, daripada dia sendiri dimusuhi Tuhan, lebih baik musuhi saja yang dimusuhi Tuhan.
Secara tidak sadar, Tuhan pun yang di satu sisi disebut memiliki Kemahaan—Mahabaik, Maha Penyayang—lantas dibayangkan sebagai sosok yang tak mampu mengendalikan kemarahan.