Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zulfikar Akbar
Pekerja media

Pekerja media yang menggemari isu-isu kemanusiaan dan politik, yang pernah bergelut di dunia aktivis Hak Asasi Manusia di Aceh dan kini berdomisili di Jakarta.

Membawa Mental Obama ke Pilgub Jakarta

Kompas.com - 28/09/2016, 07:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ada angan-angan sederhana namun memikat yang sempat meluncur dari mulut Barack Obama, sebelum dia menjadi presiden Amerika Serikat, "Saya membayangkan politik yang dewasa!" Tidak ia tujukan harapan itu pada lawan, melainkan pada dirinya dan tim suksesnya sendiri.

Itu diucapkannya ketika dia sendiri sedang membuka jalan menuju kursi kepresidenan di negara adikuasa, AS. Ketika Obama masih menimbang-nimbang, pantas tidak untuk dia sebagai seorang kulit hitam beradu dengan politisi beda warna kulit dengannya, mengincar sebuah kursi yang sebelumnya diam-diam difatwakan haram ditempati kalangannya.

Sosok yang belakangan memang berhasil menjadi presiden AS per 2009 ini tak menyebut "politik yang dewasa" itu sebagai laga yang takkan tega mencabik-cabiknya atau bahkan mengulitinya.

Alih-alih mencemaskan itu, ia memilih mengarahkan sudut pandang pada kalangan sendiri agar bersikap dewasa dalam melihat lawan.

Kedewasaan itu diterjemahkan Obama sebagai keseimbangan antara idealisme dengan realita, hingga sikap legowo mengakui bahwa pada lawan-lawannya pun mungkin ada banyak hal benar. Artinya, seluruh kebenaran dan hal baik diakui tak hanya ada di pihaknya.

Seketika berkelebat peta Amerika di kepala saya, yang mirip buaya yang ingin menelan mangsa—terutama jika dilihat dari titik garis yang menunjuk ke Florida, Georgia, menuju Philadelphia.

Obama yang notabene “kelas dua” di benak sebagian kalangan yang mengagungkan satu ras di atas ras lainnya—setidaknya beberapa dekade lalu, berpotensi dimamah dan dicabik-cabik taring “buaya” tadi. Syukurlah, sejauh ini tak terjadi.

Tapi sekelebat kemudian peta Negeri Paman Sam itu berubah menjadi Jakarta. Di sini sedang gaduh-gaduhnya cerita tentang pemilihan gubernur yang dibahas di lintasmedia hingga lintaskakilima.

Yang paling mengemuka adalah tentang kepemimpinan yang dikait-kaitkan dengan agama, hingga mantan presiden yang "main poker", yang dengan agak kasar dituding mempertaruhkan anak sendiri.

Di tengah dinamika itu juga, yang kerap bikin saya pribadi merasa masygul adalah saat melihat atribut keagamaan dan berbagai hal berbau agama dijadikan senjata untuk menjatuhkan.

Apalagi, yang membawa-bawa agama sering kali memang mereka yang terbilang paling paham kadar kedewasaan masyarakat di negaranya. Sebab mereka tahu sekali, di sini, agama dapat menjadi alat ampuh untuk menakut-nakuti, misalnya: jangan ini dan tak boleh itu, nanti Tuhan marah.

Nah, saat disebut-sebut Tuhan marah itulah, mereka yang paling paham tadi bekerja. "Jika Anda tak mengikuti kemauan Tuhan, Dia akan menyalakan neraka dan memanggang Anda di sana."

Wanti-wanti itu tadi seketika membangkitkan lamunan khas kanak-kanak. Terbayang seperti apa api kompor di dapur ibunya, dan seperti apa rasa perih jika terjilat api tadi. Apalagi, jika jilatan api itu sama sekali tak kenal jeda.

Lamunan polos begini lantas melahirkan ketakutan, yang sangat potensial dimainkan. "Jadi,  yang disuruh  pilih oleh Tuhan itu yang ini, sedangkan yang itu dimusuhi Tuhan." Diiyakan dan diamini oleh yang mendengarnya, daripada dia sendiri dimusuhi Tuhan, lebih baik musuhi saja yang dimusuhi Tuhan.

Secara tidak sadar, Tuhan pun yang di satu sisi disebut memiliki Kemahaan—Mahabaik, Maha Penyayang—lantas dibayangkan sebagai sosok yang tak mampu mengendalikan kemarahan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Kampus

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Kampus

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Megapolitan
Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Megapolitan
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com