JAKARTA, KOMPAS.com — AR, bocah sekolah dasar (SD) itu, mungkin tak sengaja salah menyebut nama ikan tongkol saat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Peristiwa itu terjadi dalam kegiatan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) Tahun 2017 di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2017).
Momen AR salah sebut nama ikan tongkol itu terekam kamera, dan videonya menjadi viral di media sosial.
Meski menuai komentar negatif dan jadi bahan bercandaan, kebanyakan netizen membela bocah ini.
Lantas, siapakah AR? Dia merupakan murid kelas III SD sebuah sekolah pesantren di daerah Ciputat, Tangerang Selatan.
Baru setahun belakangan ini AR dititipkan di pesantren tersebut. Sebelumnya, dia adalah murid di SD 12 Pagi Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat.
AR sebelumnya tinggal di rumah eyangnya, Elly (69), bersama pamannya yang bernama Dimas (28), di kawasan Sumur Batu.
Sejak lahir, AR sengaja dititipkan ayah dan ibunya di rumah Elly karena kondisi ekonomi kedua orangtuanya yang saat itu sedang kesulitan. Ayah AR juga sedang dirundung masalah.
"Karena kakak ada masalah, sejak lahir dia (AR) dititipkan di sini," kata Dimas, kepada Kompas.com, saat ditemui di kediamannya di Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017).
(Baca juga: Termasuk "Bully", KPAI Minta Video Siswa Salah Bicara Ikan Tongkol Jangan Disebarkan)
Usia AR sekarang sudah menginjak sepuluh tahun. Selama sembilan tahun, ia dibesarkan Elly dan Dimas.
Karena konflik yang terjadi pada orangtua tadi, AR tidak bisa hidup bersama kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya juga hidup terpisah.
Sang ayah membawa si sulung, sedangkan ibunya yang berasal dari Jawa Timur itu membawa adik AR yang bungsu. Hidup AR hampir sepenuhnya ditanggung eyangnya dan Dimas.
Pada usia enam tahun, kata Dimas, AR pernah dikunjungi ayah dan ibunya. "Umur enam tahun, bapak dan ibunya pernah nengokin," ujar Dimas.
AR merupakan cucu kesayangan eyangnya. Ia dipindahkan dari sekolahnya di SD 12 Pagi Sumur Batu untuk mendapat pendidikan lebih baik di pesantren.
"Pergaulan di sini kurang baik. Takutnya enggak terarahkan, makanya dipindahkan ke pesantren," ujar Dimas.