Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunter dan Punahnya Kelekatan Warga

Kompas.com - 10/04/2017, 20:49 WIB

Aliran air Kali Sunter yang berkelok-kelok dulunya bening. Mengalir di celah- celah bebatuan besar. Di sanalah warga mandi, mencuci, dan memandikan kerbau pada hari biasa ataupun menjelang Lebaran. Tumbuh pula kebiasaan menangkap ikan-ikan besar. Kini, "tradisi" bantaran kali itu punah seiring perubahan fisik kali.

Dulu, saking jernihnya air, pasir hitam di dasar kali tampak. Di kiri-kanan kali berdiri pohon kecapi, pule, bunut, katilayu, sengon, dan ketapang. Di tengah anak-anak dan dewasa berlompatan menceburkan diri di kali, para ibu dan anak perempuan, terutama saat hajatan tiba, menggunakan kali untuk mencuci tikar, baju, dan peralatan dapur.

Kini, air Kali Sunter coklat di hulu dan hitam di hilir. Sekarang lekat dengan predikat penyebab banjir, terutama bagi warga di Cipinang Melayu dan Cipinang Muara, Jakarta Timur.

Secara fisik, lebar Kali Sunter mulai dari hulu kawasan Jakarta, tepatnya di Jalan Kranggan Permai Raya, perbatasan Pondok Ranggon, Jaktim, dengan Bekasi, Jawa Barat, kondisi kali masih baik secara fisik. Lebar kali di bagian itu 12 meter. Airnya coklat, mengalir dari selatan ke utara. Kepiting air tawar hidup di sana.

"Ngegutrut" dan tampian

Tuin Inang (57), Ketua RW 004 Pondok Ranggon, warga asli wilayah itu, masih ingat ketika lebar Kali Sunter 10-12 meter. Ada sejumlah mata air, bahkan curug 1,5 meter di aliran kali yang melewati Pondok Ranggon. Beberapa jenis ikan, terutama gabus, baung, lele, dan udang besar, melimpah. Beberapa kali dalam musim kering, warga ramai-ramai menangkap ikan (ngegutrut).

"Kini, lebar kali di Pondok Ranggon menyusut 1-2 meter, tinggal 8-10 meter. Airnya coklat dan berminyak. Cuci kaki saja ngeri," kata Tuin.

Menurut dia, sejak dulu nama kali itu tak berubah: Sunter. Hanya beberapa orang yang menyebut dengan nama lain. Ia tak tahu pasti asal nama Sunter.

Pada buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe 2012, terbitan Ufuk Publishing House, Zaenuddin HM menulis, kondisi Sunter masa lalu mengalir sangat deras dan berasal dari kata santer atau banter (bahasa Jawa) yang berarti cepat.

Warga sekitar Sunter, hingga sekitar 1965, sangat jarang punya kamar mandi di rumah. Mereka mandi dan mencuci di titik-titik disebut tampian. Ada banyak tampian.

Menjelang bulan puasa, tampian kian ramai. Warga membersihkan diri di sungai.

Istilah tampian menginspirasi istilah khas Pondok Ranggon, ulah pagirang-girang tampian. "Jangan cari tampian paling bening di hulu. Pakailah tampian yang ada. Semua bagus," ujar Tuin. Istilah dikaitkan dengan upaya jaga kerukunan warga dengan tak berebut sumber daya.

Terkait ngegutrut, Tuin menjelaskan, tradisi itu biasa dilakukan menjelang kemarau saat sore hari saat air surut tetapi tidak terlalu kering. Ratusan warga bergerombol di sejumlah titik. Mereka mengaduk-aduk lumpur di kali agar ikan-ikan mabuk dan mudah ditangkap.

Selain menggunakan semacam ayakan, warga menangkap ikan dengan cara ngobeng atau mencari di lubang-lubang sempadan kali. Biasanya ikan untuk konsumsi sendiri.

Sekitar 1980, tradisi ngegutrut kian jarang hingga perlahan hilang karena kondisi air kali yang kian tak layak dan ikan yang punah. Versi warga lain, Mohamad Alimin (58), berbagai jenis ikan melimpah, seperti mujair, cere, parai, berod, bethik, dan udang sebesar lobster tanggung.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Megapolitan
Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Megapolitan
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Megapolitan
Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Megapolitan
Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Megapolitan
BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Megapolitan
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Megapolitan
Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Megapolitan
Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Megapolitan
Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Megapolitan
Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com