Warga lain di ruas Cipinang Melayu, Budiman Daud (78), juga masih ingat aliran kali yang sangat jernih. Tahun 1960-1970, setiap kerabatnya dari Kemayoran berkunjung, mereka akan melintas melewati jembatan bambu lalu menceburkan diri di kali. Kondisi air di Kali Sunter terus memburuk sejak 1975.
Populasi warga yang kian padat dan aktivitas pabrik membuat kualitas air menurun. Air Kali Sunter di ruas itu kini coklat susu. Budiman dan keluarga yang tinggal di sana sejak 1955 pun tak lagi memanfaatkan untuk mandi, cuci, dan kakus.
Kian ke hilir, ingatan warga tentang kali yang jernih dan tradisi guyub di bantaran kali pun meredup. Di Kelapa Gading-Lagoa, Jakarta Utara, air Sunter menghitam. Yudi (27), warga Lagoa, Koja, Jakarta Utara, daerah hilir Kali Sunter, mengatakan, tahun 1980-an air tak sehitam kini. Air masih coklat dan lebar sehingga kapal nelayan bisa sandar. "Waktu saya kecil berani berenang. Kini tercemar dan banyak lumpur," katanya.
Ya, dulu, Sunter sangat adem, dekat, dan lekat dengan tradisi warga. Kini, sebisa mungkin warga menjauh dari Sunter.
(DIAN DEWI PURNAMASARI/J GALUH BIMANTARA/GESIT ARIYANTO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2017, di halaman 27 dengan judul "Sunter dan Punahnya Kelekatan Warga".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.