PARA operator angkutan umum jarak jauh yang disebut AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) khususnya trayek Jakarta dan kota-kota lain di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur saat ini mengalami senjakala menuju ke kebangkrutan.
Akar masalahnya bukan lantaran mereka tidak mampu meningkatkan pelayanan kepada konsumen, tapi akibat kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan penumpang, misalnya keharusan pemberangkatan penumpang dari Terminal Pulogebang di Jakarta Timur, yang lokasinya jauh dari tempat tinggal penumpang yang umumnya di pinggiran.
Keharusan pemberangkatan penumpang dari Terminal Pulogebang itu telah menimbulkan beban tersendiri bagi calon penumpang bus AKAP, baik dari segi waktu, energi, maupun biaya. Pada akhirnya hal itu membuat mereka malas untuk menggunakan bus AKAP dan mencari alternatif lain, termasuk angkutan omprengan yang ilegal, tapi mudah diakses dan jauh lebih efisien.
Taruhlah contoh bila calon penumpang itu bertempat tinggal di Ciledug, Cikunir, Lebakbulus, Bintaro, Pondok Pinang, Ciputat, Pamulang, Depok, Daan Mogot, Jelambar, Cengkareng, Pluit, dan sebagainya. Kemudian mereka harus naik bus dari Pulogebang jika ingin pergi ke Tegal, Pekalongan, Pemalang, Semarang, Salatiga, Purwokerto, Yogyakarta, Wonosari, Solo, Wonogiri, Ngawi, dan kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bayangkan saja, berapa waktu yang harus mereka butuhkan dan berapa rupiah dana yang harus mereka keluarkan untuk sampai ke Terminal Pulogebang. Sementara itu, penumpang bus AKAP tersebut sudah terlalu capek kerja fisik dan uang mereka cekak.
Oleh karena itu, daripada mereka naik bus AKAP yang untuk bisa naiknya harus ke Terminal Pulogebang, lebih baik naik omprengan yang bisa didapatkan di dekat rumah dan dapat mengantarkan mereka sampai tujuan dengan mudah.
Perencanaan masa lalu
Terminal Pulogebang ini memang dirancang menjadi terminal terpadu dan selalu dibanggakan bakal menjadi terminal termegah di ASEAN.