JAKARTA, KOMPAS.com
— Inkonsistensi penerapan larangan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakibatkan pejalan kaki harus mengalah dan berjalan di badan jalan. Pedagang berkilah, hal ini disebabkan penertiban tidak dibarengi penyediaan tempat untuk berjualan bagi mereka.

Namun, Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan DKI Jakarta Joko Kundaryo, Selasa (4/3/2014), kembali mengingatkan, trotoar dan badan jalan merupakan area terlarang untuk berjualan. Petugas bisa sewaktu-waktu menertibkan mereka. Pedagang diimbau kembali ke lokasi yang telah disediakan dan diizinkan Pemprov DKI Jakarta. Penegak hukum pun diminta lebih tegas.

Joko menegaskan, kembali ke jalan bukan penyelesaian. Sebab, PKL akan berhadapan dengan aparat, terutama Dinas Perhubungan dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta.

”Sepi pembeli bukan berarti harus melanggar dengan kembali ke trotoar atau jalan. Pedagang dituntut lebih kreatif untuk menarik minat pembeli, seperti dengan menawarkan harga yang bersaing, stok yang lengkap, dan pelayanan yang baik,” ujarnya.

Pemprov DKI Jakarta, kata Joko, tengah membidik lahan di delapan lokasi di lima wilayah DKI Jakarta untuk membangun pusat perdagangan. Infrastruktur ini akan dikhususkan bagi pedagang pasar dan PKL yang kini belum tertampung di lokasi binaan.

Joko menambahkan, selain membangun lokasi binaan, Pemprov DKI Jakarta bersama Kementerian Perumahan Rakyat tengah mengembangkan pasar di lantai dasar rumah susun. Konsep ini diharapkan menghidupkan usaha perdagangan sekaligus memberi ruang tinggal bagi warga. Contohnya, Pasar Rumput dan Pasar Minggu di Jakarta Selatan.

Kembali ke jalan

PKL belakangan kembali ke jalan raya. Di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, misalnya, PKL kembali memenuhi trotoar dan badan jalan di kawasan itu.

Joko (30), pedagang kelontong di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat, mengatakan, kios semipermanen miliknya, meski berdiri di trotoar, tidak bermasalah karena tetap memberikan ruang bagi pejalan kaki. ”Imbauan dari satpol PP ada, tetapi mereka tidak mempermasalahkan selama tidak menutupi keseluruhan ruas trotoar,” ujar Joko yang sudah lima tahun berjualan di jalan.

Panujat (63), pedagang minuman ringan di Kota Tua, menambahkan, upaya penertiban PKL oleh Pemprov DKI Jakarta tidak dibarengi penyediaan tempat berdagang.

Pejalan kaki, Gugus (43), mengatakan, penertiban oleh satpol PP yang tidak berkala mengakibatkan PKL kembali menjamur di trotoar. Karyawan swasta di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, ini mengungkapkan, pada malam hari kondisi Jalan Haji Agus Salim bahkan semakin semrawut karena kendaraan yang diparkir secara liar dan pedagang menutupi seluruh trotoar.

Selain mengganggu pejalan kaki di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat, dan kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, PKL juga mengganggu pejalan kaki yang melewati Jalan Aipda KS Tubun, Jalan Jatibaru, dan Jalan Jembatan Tinggi. Kios dan gerobak PKL menutupi trotoar. Akibatnya, pejalan kaki terpaksa berjalan di badan jalan.

Setiawan (15), siswa kelas VIII yang sehari-hari melalui Jalan Jatibaru, mengatakan, tidak ada pilihan lain selain berjalan di badan jalan yang sebetulnya amat berbahaya. (NDY/MKN/A07)