”Ada sejumlah pendekatan yang bisa dipakai mengkaji perilaku pengemudi di Indonesia, yaitu perspektif kognitif, perspektif kepribadian, dan perspektif sosial,” kata Guritnaningsih saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Psikologi UI berjudul ”Psikologi Lalu Lintas; Perkembangan, Tantangan, dan Peluang,” di Depok, Jawa Barat, Rabu (5/11).
Menurut dia, mengemudi tak bisa dilakukan secara sembarangan. Mengemudi terkait dengan faktor dalam diri pengemudi yang kemudian menentukan perilaku mengemudi. Aktivitas ini juga terkait situasi sosial yang sedang berlangsung.
Dia membagi perilaku pengemudi di jalanan itu dalam tiga kelompok. Yang pertama adalah kelompok pengabaian risiko potensial (negligence of potential risk). Masuk dalam kategori ini adalah pengemudi yang punya kebiasaan tak menyalakan lampu sein ketika berbelok, tancap gas ketika lampu kuning menyala, dan menyalip kendaraan lain dengan posisi yang terlalu mepet.
Kelompok perilaku berikutnya adalah pelanggaran (violation), yaitu mengemudi dalam keadaan mabuk, melawan arus lalu lintas, menerobos lampu merah, dan memacu kendaraan di atas kecepatan maksimum yang diizinkan.
Kelompok terakhir adalah pengabaian pemeriksaan kendaraan (negligence of vehicle examination), yaitu mereka yang mengabaikan pemeriksaan kondisi kendaraan secara berkala, antara lain pemeriksaan fungsi rem, ban, dan fungsi lampu.
Dari tiga kelompok perilaku itu, berdasarkan hasil penelitian Guritnaningsih, sebagian besar pengemudi kendaraan di Indonesia masuk dalam golongan pertama dan kedua.
Kondisi sadar
Ironisnya, pengemudi melakukan itu dalam kondisi sadar dengan berbagai alasan praktis. Berbagai perilaku berbahaya ”dimaklumi” karena dilakukan secara beramai-ramai. ”Ketika seorang pengendara sepeda motor berhasil menerobos lampu merah dengan selamat tanpa ditangkap polisi, pengendara lain cenderung mengikuti,” kata Guritnaningsih.
Peneliti kelahiran Jakarta, 61 tahun lalu ini, menyebutkan, ada sejumlah tantangan yang harus dijawab pihak berkepentingan. Tantangan pertama adalah mengatasi stres pengemudi karena macet, polusi udara, dan tak adanya sistem penataan kota yang jelas.
Tantangan kedua adalah rendahnya kesadaran mematuhi aturan lalu lintas dan penegakan hukum yang tak dijalankan secara efektif.
Guru besar ke-289 UI ini juga mengkritik penataan sistem transportasi selama ini yang belum banyak menggunakan perspektif psikologi. Tak mengherankan jika banyak sarana pendukung lalu lintas tak dimanfaatkan maksimal, seperti jembatan penyeberangan orang, halte bus, dan tempat putaran kendaraan.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, membenarkan pendekatan nonteknis jarang dipakai menata sistem transportasi. Padahal, pendekatan sosial harus didahulukan sebelum pendekatan teknis. (Andy Riza Hidayat)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.