"Soal pergub ini pelajaran. Sekali lagi, pergub tidak boleh direncanakan. Tapi, (itu) adalah pilihan, jalan keluar terakhir atas sebuah pilihan," ujar Taufik ketika dihubungi, Kamis (2/4/2015).
Dia mengibaratkan hal ini dengan pasangan suami istri yang memilih untuk bercerai. Menurut Taufik, perceraian biasa terjadi antara suami istri yang tidak memiliki kecocokan lagi. Begitu pula dengan yang terjadi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan DPRD. Taufik mengatakan, kedua instansi tidak memiliki kesepahaman tentang APBD 2015.
Bagi DPRD, RAPBD yang diserahkan Pemprov DKI kepada Kemendagri adalah malaprosedur karena bukan hasil pembahasan. Ditambah lagi, DPRD tidak diberi cukup waktu untuk membahas RAPBD setelah proses input pada saat-saat terakhir beberapa waktu lalu. Hal-hal itulah yang menjadi faktor-faktor ketegangan antara keduanya.
Taufik mengatakan, hal itu yang memicu persetujuan DPRD kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk menerbitkan pergub sebagai tanda digunakannya pagu APBD tahun lalu. Diputuskannya pergub, kata Taufik, diibaratkan sebagai sebuah perceraian.
"Perceraian itu sah. Tapi, ingat, itu dibenci Tuhan," kata Taufik.
Menurut dia, kedua pihak harus mendapatkan sanksi-sanksi tertentu, seperti halnya anggota DPRD DKI yang mengaku tidak mendapat gaji selama enam bulan. Begitu pun dengan pihak eksekutif yang mendapatkan sanksi yang sama. Hal ini karena Pemprov dan DPRD yang terlambat melakukan pembahasan.
"Dilihat dulu salahnya siapa. Apabila eksekutif yang terlambat menyerahkan RAPBD, yang kena sanksi ya eksekutif. Apabila tidak ada kesepakatan, sanksinya berdua, Gubernur dan DPRD. Saya tidak digaji enam bulan. Kalau Pak Ahok enggak tahu juga, saya bukan yang megang gajinya," ujar Taufik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.