Sejak 2013 lalu, area di sekitar masjid ditumbuhi pagar beton setinggi hampir 3 meter. Alhasil kebanyakan warga harus rela memutar lebih jauh untuk menuju masjid. Dengan begitu, mereka memakan waktu lebih lama, yakni sekitar 15 menit berjalan kaki.
"Sekarang lumayan, sudah dibuka sebagian dan dibikin jalan setapak di sana. Dulu benar-benar semuanya dibeton," ujar Vina (19), seorang warga yang masih mengenakan mukenanya sambil menunjuk satu sudut tembok yang berlawanan dengan masjid berada.
Dengan dibukanya jalan setapak itu, kata Vina, warga masih bisa menuju masjid itu dengan cara yang wajar. Namun sekitar satu hingga dua tahun lalu, warga terpaksa memasang tangga pada tembok. Tangga bambu sengaja disandarkan pada tembok untuk menjadi alat bantu melewati tembok. Sebagian anak-anak bahkan memanjat dan melompat.
Diakui Gunawan (15), salah satu warga, aksi itu berbahaya. Namun, itulah yang harus mereka lakukan untuk memotong jalan. "Kalau enggak begitu jauh, Kak, harus memutar. Tetapi lompat itu sudah enggak bisa lagi sekarang, karena sudah dipasangi beling di atas tembok. Ada juga kawat duri," kata pelajar Sekolah Al Kautsar, Blok A, Petogogan itu.
Di hampir semua sisi, tembok tersebut memang dipasangi becahan kaca dan kawat berduri. Sejak itu, nyali warga semakin ciut untuk melompati tembok. Mereka pun lebih memilih mengambil jalan memutar, tetapi aman. Daripada harus mengorbankan keselamatan terkena benda tajam.
Dalam beberapa kesempatan, remaja-remaja setempat bahkan berupaya mencopot kawat berduri. Meskipun aksi itu sebenarnya sia-sia karena tak lama kemudian kawat berduri kembali bercokol.
Irfan (13), salah satu "pelompat ulung" pun sudah tidak berani melompati tembok. Namun, ia belum puas dengan dibukanya jalan setapak yang jauh dari masjid. Ia berharap, tembok beton itu segera diruntuhkan supaya ia dan teman-temannya tidak lagi kesulitan menuju masjid.
Walaupun masjid di kawasan tempat tinggalnya tidak hanya itu, tetapi harus diakui Masjid Al Futuwwah lah yang paling dekat. "Sebenarnya ada juga Masjid An Nur, tetapi ini yang paling dekat ya ini. Sejak masjidnya masih jadi mushola, warga sini sudah biasa shalat di sini," ungkapnya.
Kisah sulitnya akses menuju mesjid itu bermula pada 2013. Seorang pengembang bernama Ichsan Thalib yang merupakan Direktur PT FIM Jasa Ekatama membeli lahan warga seluas 2.000 meter persegi di daerah tersebut. Namun ada sekitar 150 meter persegi lahan di satu sudut tanah yang belum dibeli. Sebab, pemilik tanah yang bernama Muhammad Sanwani Naim menolak untuk menjualnya.
Apalagi, ia sudah bertekad mendirikan masjid dan pesantren di atas tanah hasil perjuangan ayahnya itu. Pembangunan masjid pun sudah dimulai. Sebuah menara setinggi hampir 20 meter sudah berdiri, meski belum selesai dibangun.
Bangunan masjid dan pesantren juga telah berdiri meski masih jauh dari sempurna. Bangunan tersebut masih tampak seperti pondasi. Tetapi, lantai satu bangunan sudah dipasangi lantai kramik, karpet, dan lampu sehingga bisa digunakan untuk shalat. Ada pula deretan kran yang bisa digunakan untuk berwudhu.
Pengeras suara masjid pun berfungsi dengan baik sehingga suara adzan dan alunan bait-bait Al-Quran bisa terdengar di kawasan itu. Ichsan sempat bernegosiasi untuk membeli lahan ini. Namun, Sanwani tidak menyambut niat tersebut.
"Akhirnya membuat tembok beton di sekeliling tanah mereka. Otomatis, akses ke masjid tertutup," ujar Sanwani.
Pria itu sudah berupaya meminta mediasi ke Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Namun, setelah dimediasi pun pemilik lahan enggan membukanya. Mediasi hanya membuahkan hasil dibukanya sedikit tembok untuk jalan setapak yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Hingga kini, belum ada yang mengalah dari kedua belah pihak.